Jakarta, Kompas -
”Dalam situasi seperti ini, SBY perlu menunjukkan kepemimpinan yang jelas yang lebih menegaskan dirinya sebagai presiden, pemegang kekuasaan tertinggi,” ujar pengamat politik CSIS, J Kristiadi, yang dihubungi di Jakarta, Sabtu (21/7).
Imbauan agar para menteri mundur jika tidak mampu bukan kali pertama disampaikan Presiden. Bahkan, seruan serupa juga disampaikan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Namun, seruan-seruan itu berlalu begitu saja.
”Dengan imbauan yang diulang-ulang, yang tertinggal di benak publik adalah SBY ini seolah-olah punya komitmen. Namun, publik juga tahu, komitmen tidak cukup hanya verbal atau diucapkan,” ujarnya.
Dukungan agar Presiden mengambil tindakan nyata dan tegas atas imbauannya disampaikan juga oleh peneliti LIPI, Siti Zuhro. ”Waktu 2009-2012 sudah cukup untuk mengevaluasi kinerja menteri. Kalau tidak puas, ganti saja,” tuturnya.
Menurut Siti, dengan mandat kuat yang dipayungi konstitusi, Presiden masih punya waktu bertindak dan membuat terobosan. Apalagi, Presiden sendiri yang akan mempertanggungjawabkan kinerja kabinetnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mempertanyakan tidak dipakainya hak prerogatif Presiden terhadap para menteri yang dikeluhkan.
”Dalam konteks hak prerogatif Presiden, dia bangun tidur kemudian ingin ganti menteri saja boleh. Tidak memerlukan banyak alasan. Dalam konteks ini, aneh sekali kalau kewenangan berada di tangan, tetapi masih mengeluh. Kenapa tidak diganti saja,” kata Zainal.
Ia menambahkan, imbauan Presiden itu sebenarnya mirip ketika kita membeli casing telepon seluler, hanya supaya terlihat cantik.
Menurut dia, sering-sering mengganti menteri bukanlah hal tabu. Penggantian menteri tidak selalu harus diasosiasikan sebagai sebuah ketidakstabilan pemerintahan, tetapi menjadi bagian menjaga kewibawaan pemerintah dan kepercayaan publik sekaligus efektivitas kerja.
”Kalau tahu ada menterinya tidak kerja tetapi dipertahankan, dia seperti menanam bom waktu,” katanya.