Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi-Komedi Pemilihan Presiden

Kompas.com - 16/07/2012, 02:11 WIB

Indra Tranggono

Peran politik klenik kini tak lagi dominan. Inilah era lembaga survei. Untuk bersiap maju dalam pemilihan presiden, tokoh-tokoh elite kekuasaan cukup melihat hasil survei. Tak perlu lagi sibuk dengan pernak-pernik klenik.

Politik klenik—yang kental pada kekuasaan Soeharto—memahami bahwa seorang presiden adalah ”raja”, pengambil alih otoritas Tuhan di bumi. Karena itu, hal ihwal kewahyuan jadi sangat signifikan. Orang perlu nayuh (mencari, mengonfirmasi, dan memastikan) wahyu melalui jalan asketis: puasa, teteki (bertapa), ziarah di makam tokoh-tokoh besar sejarah, dan serangkaian ritus lainnya.

Liberalisme datang, jadi roh baru yang mengguncang jagat politik dan kekuasaan di negeri ini. Demokrasi prosedural dan elektoral menjadikan partai politik sebagai bandulan yang mengayunkan seseorang menjadi presiden. Jabatan presiden tidak lagi ”ditunggu”, tapi diburu. Bakal calon presiden merasa tak perlu lagi nayuh wahyu, tapi cukup berbelanja dukungan di pasar (mal) demokrasi yang menyediakan banyak kendaraan politik dan politikus rental.

Segala ritus yang berhubungan dengan kewahyuan telah digantikan derap mesin partai, uang, dan popularitas ketokohan. Presiden dipahami bukan lagi ”raja” atau wakil Tuhan di bumi, tapi manajer, laiknya dalam sebuah perusahaan. Di situ, rakyat diposisikan sebagai ”konstituen kelas konsumen”.

Lembaga survei hadir menjadi peranti pelengkap demokrasi liberal. Ia berfungsi sebagai radar politik atas kekuatan atau kelemahan elektoral bakal calon presiden. Seorang bakal calon presiden bisa gemetar dan lemas begitu mendapatkan hasil survei elektoralnya yang rendah.

Presiden ideal

Siapa pun bakal calon presiden tentu tersentak atas hasil survei ini: mayoritas warga (negara) belum memiliki calon yang disukai dan dinilai layak untuk dipilih sebagai presiden (Kompas, 9/7).

Hasil survei itu menunjukkan: popularitas tidak identik dengan favoritisme dan kualitas ketokohan. Kata ”disukai” dan ”dinilai layak” jadi penanda penting premis itu. Gejala ini menunjukkan, sejatinya masyarakat (warga negara) tetap menginginkan munculnya calon presiden ideal.

Ukuran ideal bagi calon presiden selalu berbasis pada integritas, komitmen, dan kapabilitas yang turunannya terjelma ke dalam sosok yang memiliki kapasitas negarawan. Artinya, seorang calon presiden haruslah kesatria moral, kesatria politik (konstitusi), serta kesatria intelektual dan teknis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com