SURABAYA, KOMPAS -
Demikian pandangan Kacung Marijan, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, dan Abdul Aziz SR, pengajar Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Mereka menyatakan hal itu secara terpisah, Senin (16/1), terkait keinginan PPP agar menjadi rumah bersama politik umat Islam, termasuk umat NU. NU merupakan salah satu partai yang berfusi ke PPP pada 1973 bersama Parmusi, PSII, dan Perti.
Menurut Kacung, PPP berusaha agar perolehan suara tidak semakin merosot. Dari pemilu ke pemilu pada era reformasi, perolehan suaranya cenderung merosot karena pemilih berpindah ke partai Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Karena itu, PPP ingin menarik kembali massanya yang pindah partai itu, terutama umat NU selagi PKB yang pendiriannya difasilitasi PBNU sedang dilanda kemelut. Demikian pula Partai Kebangkitan Nasional Ulama tak lolos ambang batas parlemen.
Menurut Kacung, upaya PPP itu tidak mudah. Cara PPP menarik kembali umat NU dengan menggandeng kiai juga belum tentu efektif. ”Orientasi politik umat NU sudah berubah. Untuk urusan keagamaan, mereka masih sami’na wa atha’na (mendengar dan patuh) kepada kiai. Tetapi, untuk politik, tingkat kepatuhannya sangat longgar. Buktinya PKNU yang didukung kiai-kiai besar pun kalah,” kata Kacung.
Menurut Kacung, seharusnya PPP jangan hanya mengandalkan kiai dan pesantren untuk menaikkan suara. PPP harus berani menjaring generasi muda baru. Kehadiran generasi muda adalah keniscayaan jika PPP ingin tetap eksis dan menjadi rumah besar politik umat Islam.
Menurut Aziz, saat ini umat NU lebih cerdas memilih mana yang bisa menguntungkan NU sehingga tidak bisa ditarik dengan isu-isu ideologis ataupun historis oleh PPP. Apalagi terlihat isu ideologis itu hanya pura-pura. Penampilan PPP sebagai partai Islam tidak ada bedanya dengan partai yang tidak berlabel Islam.
Aziz menambahkan, memang tidak mudah bagi PPP menjaring generasi muda karena penampilan partai yang terkesan kolot, tidak gaul.