Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Bima: Sanksi Disiplin untuk Polisi Tak Cukup

Kompas.com - 03/01/2012, 13:27 WIB
Ary Wibowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai dalam kasus kekerasan terhadap pengunjukrasa di Pelabuhan Sape, Bima, Polri tidak cukup hanya memberikan sanksi disiplin terhadap aparatnya yang terbukti melakukan pelanggaran.

Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh mengatakan, polisi seharusnya memberikan sanksi hukum yang tegas dalam persoalan tersebut. "Pemberian sanksi seharusnya tidak sebatas pada sanksi administratif atau disiplin saja, akan tetapi sampai dengan sanksi pidana bagi yang terbukti melakukan tindakan melawan hukum," ujar Ridha saat jumpa pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (3/1/2012).

Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, di Jakarta, Senin (1/1/2012) mengatakan lima orang anggota kepolisian di Bima akan dikenakan sanksi disiplin, karena terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus tersebut. Satu anggota Brimob terbukti memukul pengunjuk rasa dengan popor senjata dan empat anggota Polres Bima, dua diantaranya yakni Briptu A dan MS terbukti memukul dan menendang warga dari belakang.

Lebih lanjut, Ridha menyarankan, Polri harus terus melakukan penyelidikan secara independen terhadap anggota-anggotanya. Ia menilai, dalam kasus tersebut, secara jelas sejumlah aparat polisi yang bertugas di lapangan, termasuk Kapolda Nusa Tenggara Barat, Kapolresta Bima harus bertanggungjawab.

Menurut dia, Kapolda NTB Brigjen (Pol) Arif Wahyunandi diduga bertanggungjawab secara umum karena terjadinya peristiwa kekerasan di Pelabuhan Sape. Sedangkan, Kapolresta Bima harus bertanggungjawab karena pada saat peristiwa dirinya bertindak sebagai penanggungjawab di lapangan, dan tidak melakukan pencegahan yang efektif untuk menghindari jatuhnya korban.

"Kemudian juga para komandan atau atasan kepolisian yang tidak melakukan pencegahan bahkan melakukan pembiaran terhadap anak buahnya yang melakukan kekerasan dalam penertiban. Ini semua harus diproses, dan diselidiki sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," kata Ridha.

Seperti diberitakan, peristiwa ricuh itu diawali dengan unjuk rasa yang dilatarbelakangi penerbitan SK baru bernomor 188/45/357/004/2010 yang berisi pemberian izin kepada PT Sumber Mineral Nusantara (PT SMN) untuk mengeksplorasi lahan di Bima seluas 24.980 hektar.

Hal ini memicu kekhawatiran warga, bahwa aktivitas pertambangan yang dilakukan PT SMN mengganggu mata pencarian mereka, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan. Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Fajar Prihantoro di Jakarta, Jumat (30/12/2011) mengatakan pihaknya telah memeriksa 115 anggota dan 18 warga untuk mengetahui kronologis peristiwa.

Hasilnya, kata Fajar, tidak ada pelanggaran prosedur dalam penanganan massa yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kapolda NTB dan Kapolresta Bima. "Brimob ketika mengejar ada yang nembak. Itu yang perlu dievaluasi," kata Fajar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

    Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

    Nasional
    Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com