Borok-borok kelakuan seseorang atau kelompok orang, betapa pun dibungkus rapi, pasti pada suatu saat akan diketahui. Ada borok yang segera mengapung, ada pula yang harus menanti tahunan, mungkin puluhan tahun, baru ketahuan.
Di suatu negara dengan sistem peradilan baik yang dibangun di atas komitmen moral yang kuat, membongkar sebuah borok, apakah itu menyangkut politik atau ekonomi, tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun, di sebuah negara yang sistem penegakan hukumnya kucar-kacir di mana hukum biasa diperdagangkan, orang memang harus sabar sampai gelombang kesadaran ke arah perbaikan menyeluruh muncul dengan kekuatan dahsyat. Ini bisa dalam bentuk revolusi dan bisa juga melalui gerakan reformasi yang efektif.
Sejarah modern Indonesia pernah mengenal kedua bentuk itu. Revolusi Kemerdekaan antara tahun 1945 dan 1949 dengan efektif membongkar segala borok penjajahan yang kemudian membuahkan kemerdekaan bangsa. Para pendiri bangsa melalui pena mereka yang tajam telah menguliti borok-borok sistem penjajahan itu dalam tenggang waktu yang lama, diawali sejak abad ke-20.
Namun, gerakan reformasi sejak tahun 1998 dengan tujuan menegakkan sistem demokrasi yang kuat dan sehat ternyata dihadapkan pada jalan buntu kultural yang sampai hari ini belum jelas ujungnya. Terlalu banyak dusta dan kepentingan pragmatisme elite politik yang memboncengi gerakan ini.
Era reformasi tak berhasil melahirkan negarawan. Akibatnya, keadilan dan kesejahteraan yang sering dijanjikan tak kunjung terwujud. Buntutnya, apatisme masyarakat luas terhadap sistem kekuasaan kian dirasakan di kawasan perkotaan dan pedesaan. Orang begitu mudah tersinggung dan terbakar, lalu diakhiri dengan tawuran massal.
Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi berakhir dengan kegagalan gara-gara para elitenya terus saja bertikai-pangkai berebut kuasa dengan berpedoman pada diktum Machiavelli: tujuan menghalalkan segala cara.
Sejak beberapa bulan terakhir, Indonesia dihebohkan oleh perilaku tak senonoh yang dilakukan oleh sebagian elite partai politik. Yang baru mulai terkuak adalah borok Partai Demokrat, partai penguasa, yang sejak lama menggantungkan keberadaannya atas citra ketua dewan pembinanya yang kebetulan Presiden Republik Indonesia. Partai-partai lain bisa saja sedang menunggu giliran untuk dibongkar belangnya.