Jakarta, Kompas -
”Reinterpretasi Pancasila diperlukan, tetapi bukan dilakukan melalui penataran seperti zaman Orde Baru. Ideologisasi semestinya dilakukan melalui proses yang
Reformulasi Pancasila sebagai jati diri bangsa akan lebih efektif jika dilakukan masyarakat dengan dukungan pemerintah. Dukungan ini bisa berbentuk apa pun seperti insentif kepada penulis-penulis untuk menafsirkan ulang Pancasila atau mendukung lembaga nonpemerintah untuk mengkaji Pancasila.
Pengamat politik Reform Institute, Yudi Latif, saat berbicara di Redaksi
Sebelum diimplementasikan lebih jauh sebagai sikap hidup, Pancasila memiliki persoalan mendasar. Sebagai ideologi negara, Pancasila lebih banyak diperlakukan seperti pepesan kosong akibat inflasi luar biasa pengucapan kata Pancasila selama ini.
Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), buku-buku dan pidato para pejabat tentang Pancasila, tidak memiliki satu pun kandungan yang dapat diterapkan. Masyarakat juga tidak pernah mendapat penjelasan memadai mengenai substansi Pancasila, kecuali Pancasila hasil konsensus bersama, merupakan dasar negara, dan berasal dari bumi Indonesia.
Oleh karena itu, Yudi Latif, mengatakan bahwa Pancasila seharusnya juga mengalami radikalisasi dalam arti positif, yaitu penjangkaran atau pengakaran lebih dalam di masyarakat.
Ia juga mengatakan, membangkitkan semangat persatuan Indonesia seharusnya ada tayangan pidato Bung Karno di sidang Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di gedung Pejambon, Jakarta, tahun 1945. Selain itu, juga pidato Presiden Soekarno di Sidang Umum PBB, New York, Amerika Serikat, pada 1960.