Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaum Buruh Sebaiknya Bentuk Parpol

Kompas.com - 04/05/2011, 20:49 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kaum buruh dan pekerja di Indonesia seharusnya memiliki partai politik sendiri seperti di negara- negara maju lainnya antara lain Rusia dan Polandia. Partai politik itu akan memperjuangkan semua aspirasi dan kepentingan kaum buruh dan pekerja di seluruh Indonesia. Misalnya,  di Rusia, partai buruh sangat disayang oleh para petani dan pekerja. Sebaliknya, partai buruh itu akan sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi dan kepentingan buruh dan pekerja Rusia.

"Problemnya di Indonesia, apakah partai buruh akan benar-benar berjuang bagi kepentingan kaum buruh, atau sebaliknya, partai buruh akan disayang juga oleh buruh, petani dan pekerja?," ungkap aktivis sosial Danial Indrakusuma, dalam seminar yang digelar Trade Union Rights Centre (TURC) di Gedung Joang 45, Jakarta, Rabu (4/5/2011).

Seminar dengan tema Tuntutan Reformasi Jaminan Sosial: Transformasi Gerakan Buruh Menuju Gerakan Sosial dan Politik di hadiri antara lain tokoh buruh Mochtar Pakpahan, Direktur Utama TURC Surya Tjandra dan aktivis sosial Danial Indrakusuma.  

Menurut Danial, yang pernah menjadi aktivis di Partai Rakyat Demokratik (PRD), pendirian partai buruh di Indonesia bukan soal sah atau tidak sah. "Akan tetapi, bisa atau tidak memperjuangkan aspirasi dan kepentingan buruh. Jadi, mengapa suara kita tidak diberikan kepada partai yang kita dirikan sendiri? Mengapa justru diberikan kepada partai politik lainnya, sebut saja saja seperti PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sosial (PKS)?," tanya Danial lagi.  

Sebelumnya, menurut Surya, dalam memperjuangkan jaminan sosial dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tercatat hanya ada dua partai politik yang terlihat benar-benar membela program tersebut, yakni PDI Perjuangan dan PKS. Adapun, partai politik lainnya di DPR, dinilainya tidak memiliki kepedulian terhadap aspirasi dan kepentingan buruh dan pekerja.

"Namun, terhadap PDI Perjuangan dan PKS, kita pun punya catatan sendiri-sendiri terhadap aspirasi buruh," tambah Surya.  

Mengutip laporan jajak pendapat di harian Kompas belum lama ini, Surya menyatakan sebagian pekerja yang ditanyai justru merasa gamang den gan masa depan mereka terkait dalam pekerjaannya daripada mengurusi berdirinya partai politik.  

Mochtar Pakpahan  mengakui, saat ia mendirikan Partai Buruh, pemilihnya dari kaum buruh dan pekerja sendiri justru tidak signifikan sehingga partainya tidak pernah diperhitungkan dalam setiap pemilu. Bahkan, tambah Mochtar, wakil-wakil buruh di setiap partai politik, malah tidak terpilih. Sebab, mereka bersaing sendiri-sendiri.  

"Hal itu karena tidak adanya persatuan di antara para buruh dan pekerjanya sendiri. Kalaupun ada, mereka sudah terfragmentasi sendiri-sendiri. Tidak ada yang bersatu. Jadi sulit mewujudkan partai buruh yang kuat dan solid. Padahal, kalau Negara itu sudah sejahtera, pasti partai buruhnya kuat dan solid," jelas Mochtar.

 

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com