Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjaga Warisan Budaya Sumba

Kompas.com - 11/12/2010, 08:37 WIB

Oleh KORNELIS KEWA AMA

Sanggar Seni Oriangu pimpinan Hendrik Pali Hamapaty tak asing bagi warga Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Di sanggar itu, para pejabat, mahasiswa, dan pelajar dari Sumba ataupun luar Sumba, termasuk turis asing, dapat melihat dan mempelajari beberapa seni tradisi lokal Sumba yang masih tersisa.

Sumba terkenal dengan budaya dan tradisi lokalnya. Kepercayaan agama asli Marapu memperkaya khazanah budaya dan tradisi itu. Namun, seiring perkembangan zaman dan masuknya agama baru, perlahan-lahan budaya dan tradisi lokal mulai ditinggalkan masyarakatnya. Hal yang konkret adalah punahnya sejumlah tarian daerah, musik, cerita rakyat, ataupun Marapu sebagai kepercayaan asli Sumba.

Literatur tari tradisional Sumba menyebutkan, ada lebih dari 100 tarian lokal yang menggambarkan kepercayaan kepada Tuhan agama asli Marapu, kehidupan warga, keadilan, kejujuran, pesta panen, dan pesta perkawinan. Namun, sebagian besar tarian itu sudah terlupakan, hanya 22 tarian yang masih bisa ditarikan.

Dari 22 tarian tradisional itu pun 18 di antaranya nyaris hilang. Tarian itu, antara lain, Kabokang (tarian untuk menghormati raja agar selalu jujur dan adil memimpin), Mapandamu (tarian mewujudkan rasa syukur atas kelahiran anak), Kandingan (tarian syukur pada pesta panen), Patanjangung (tarian syukur atas panen perdana), dan Panapang banu (tarian melamar gadis).

Ada juga tarian Ningguharana yang dibawakan pria dan perempuan untuk menyambut pahlawan yang pulang dari peperangan. Kini, tarian itu dibawakan saat menjemput para peserta pasola yang baru pulang dari pertarungan (permainan melempar tongkat kayu sambil menunggang kuda).

Tim Ekspedisi Jejak Peradaban Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ke Pulau Sumba bertemu dengan Hendrik Pali Hamapaty yang prihatin dengan punahnya sejumlah budaya dan tradisi lokal Sumba. Hendrik menilai, budaya dan tradisi Sumba memiliki pesan kuat bagi kehidupan persaudaraan, kebersamaan, kehidupan sosial, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Itu yang memotivasi dia mendirikan Sanggar Oriangu.

Terinspirasi Yogyakarta

Hendrik, pemilik sanggar dan pelestari seni budaya tradisional Sumba ini, terinspirasi kegiatan para seniman di Yogyakarta. Di kota itu, seni bisa menghidupi senimannya. Sementara di daerah seperti Sumba, seniman harus berjuang dan bersusah payah menghidupi keluarganya. Ini belum termasuk mendapatkan dana untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi yang sudah dan terancam punah.

”Sepulang dari Yogya tahun 1980, setelah menekuni seni tari di sanggar milik Bagong Sutrisnadi, saya mulai menyosialisasikan tarian-tarian itu di sekolah-sekolah. Kini, hampir semua sekolah dasar dan menengah di Sumba belajar tarian di sanggar ini. Para guru pun belajar tarian untuk melatih para siswa. Bahkan, tarian-tarian yang hampir punah bisa masuk dalam muatan lokal sekolah dasar dan menengah,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com