Geoffrey Jukes, penulis The Russo-Japanese War 1904-1905, mengatakan, penentu hasil perang itu bukanlah teknologi, tetapi tingkat literasi.
Hanya 20 persen personel militer Rusia bisa ”membaca dan menulis”. Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern (saat itu) dan sistem telegraf nirkabel yang diimpor dari Jerman. Serangan Rusia sering salah sasaran karena salah membaca peta dan salah mengoperasikan jaringan komunikasi.
Sebaliknya, hampir semua tentara Jepang tahu ”membaca dan menulis”. Mereka mahir menggunakan persenjataan militer modern dan memanfaatkan infrastruktur intelijen militer secara benar. Jepang bahkan sudah memodifikasi sistem telegraf nirkabel dari Jerman.
Perang kerajaan Spanyol dan Inggris yang berakhir di Pantai Gravelines, Perancis, Agustus 1588, dimenangi oleh armada Inggris. Dalam bukunya, The Achieving Society (1961), David McClelland menulis, Inggris menang karena memiliki need for achievement (kebutuhan meraih keberhasilan) lebih tinggi daripada armada Spanyol. Salah satu penentu n-achievement (n-Ach) adalah corak sastra rakyat.
Saat tingkat perekonomian Spanyol dan Inggris berada di puncak (tahun 1560-an), corak sastra rakyat Inggris tetap penuh kisah petualangan dan perjuangan. Namun, sastra rakyat Spanyol bergelimang kisah kemewahan dan hiburan. McClelland menyimpulkan, kisah perjuangan dan petualangan lebih mengembangkan tingkat n-Ach rakyat (McClelland, 1961, 1965).
Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Pengertian itu berkembang menjadi konsep literasi fungsional, yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup.
Kemampuan tentara Jepang memahami handbook peralatan perang, membaca peta, mendalami strategi, dan memodifikasi sistem telegraf nirkabel adalah gambaran literasi fungsional.