JAKARTA, KOMPAS.com — Polisi dianggap tidak konsisten dan terlalu cepat menyimpulkan bahwa percobaan penghilangan ayat tembakau bukan perbuatan pidana dan menghentikan penyidikan. Hal ini menjadi preseden buruk.
Upaya penghilangan itu juga mengindikasikan adanya pihak yang menginginkan hilangnya ayat yang berpengaruh besar terhadap perlindungan kesehatan masyarakat. Demikian terungkap dalam diskusi ”SP3 Kasus Ayat Tembakau dalam Perspektif Hukum Acara Pidana” di Indonesia Corruption Watch (ICW), Selasa (26/10/2010) di Jakarta.
Pasal 113 Ayat 2 UU Kesehatan yang hilang setelah disahkan DPR lalu dikembalikan itu berbunyi, ”Zat adiktif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.” Penetapan tembakau sebagai zat adiktif besar dampaknya terhadap pengendalian konsumsi tembakau yang meningkatkan risiko terkena berbagai penyakit.
Pengajar hukum acara pidana dan hukum pembuktian Universitas Indonesia, Flora Dianti, mengatakan, kepolisian sudah pada tahap penyidikan, artinya sudah ada indikasi kuat ke arah tindak pidana. Bahkan, sudah ada tiga nama anggota DPR yang diduga terlibat.
Dalam surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan kepada pelapor, dr Hakim Sorimuda Pohan, polisi menyebutkan tiga tersangka anggota DPR, yakni Ribka Tjiptaning, Asiyah Salekan, dan Maryani Baramuli, dalam kasus penghilangan dan pengubahan data otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 266 dan Pasal 263 KUHP.
Flora menyatakan, keputusan kepolisian tidak konsisten dan ambigu. ”Pada tahapan tersebut, alasan kasus dihentikan karena kurangnya bukti sehingga dapat dibuka kembali jika ada bukti baru akan lebih masuk akal ketimbang menyatakan kasus itu bukan perbuatan pidana,” ujarnya. Dia mengatakan, bagaimanapun keyakinan subyektif dari penyidik tetap berperan dalam pembuatan keputusan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nurkholis Hidayat mengatakan, percobaan penghilangan ayat tidak dapat dibantah lagi. Persoalannya, apakah itu disengaja atau kelalaian. ”Keduanya seharusnya tetap mempunyai konsekuensi,” ujarnya.
Pelapor korupsi ayat yang juga anggota Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok (KAKAR), dr Hakim Sorimuda Pohan, mengatakan, jika tidak ada tindakan apa pun pada pihak terlibat, kesan yang muncul ialah percobaan mengubah undang-undang bukan kejahatan. Itu merupakan preseden buruk.
Percobaan penghilangan ayat yang melibatkan anggota DPR itu merupakan pengkhianatan terhadap negara dan konstitusi. (INE)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.