Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penulis Sastra dan Kuis

Kompas.com - 25/10/2010, 12:23 WIB

Oleh Anindita S Thayf

Tanggal 15 Oktober 2010, saya menerima penghargaan sastra dari Balai Bahasa Yogyakarta. Novel saya, Jejak Kala, dianggap layak disemati julukan sebagai yang "terbaik" dari puluhan karya sastra yang ditulis para penulis Yogyakarta dan diterbitkan oleh penerbit Yogyakarta. Tentu saja saya senang: ada karya saya yang mendapatkan penghargaan.

Namun, ironi lantas menyeruak bersamaan dengan malam "upacara" penerimaan penghargaan yang bertempat di arena Jogja Book Fair 2010. Seorang teman berbisik, Jejak Kala sudah masuk jajaran novel diobral. Artinya, novel itu tak laku di pasaran.

Memilih menjadi penulis sastra setidaknya butuh dua lapis ketabahan. Pertama, ketabahan ditolak penerbit karena karyanya termasuk dalam kategori "tidak membawa hoki". Kedua, jika pun diterima dan diterbitkan, harus bersiap-siap menerima laporan royalti penjualan yang angkanya lebih sering berada di bawah standar upah pekerja minimum akibat tidak laku di pasaran.

Memang, ada beberapa novel yang penjualannya mampu menghebohkan pasar, tetapi itu hanyalah "keberuntungan" yang terjadi pada segelintir penulis. Keberuntungan yang mengundang para penulis lain bergegas menirunya secara berjemaah dengan harapan ingin mencecap nasib serupa; hidup kaya dan terkenal pada akhirnya. Rak-rak toko buku pun disesaki berbagai karya epigon.

Karya sastra memang unik. Sastrawan asal Jerman, G?nter Grass, dalam satu wawancara berpendapat, karya sastra bisa mengubah dunia. Sastra bisa menjadi jiwa dari sebuah peradaban. Tentulah kata-kata Grass tersebut mendongkrak posisi sastra hingga menjadi sangat prestisius. Pada sisi lain, fakta menunjukkan pula, karya sastra tidak mudah diterbitkan. Adikarya James Joyce, Ulysses, berkali-kali ditolak penerbit hingga ditemukan Sylvia Beach, yang mau menerbitkannya dalam bentuk sederhana sebanyak beberapa ratus eksemplar saja. Pun karya Multatuli, Max Havelaar, penerbit enggan mencetaknya.

Sebenarnya masih berderet-deret lagi ironi yang harus dialami penulis sastra dan karyanya. Bayangkan saja, setelah sebuah karya berhasil dicetak dan didistribusikan, tanggapan yang diberikan pasar lebih sering menjauhi harapan. Penulis pun kelimpungan karena tidak memperoleh pemasukan. Tak heran dalam kongko-kongko di kalangan penulis masih sering terdengar kabar tentang sastrawan A yang sedang sakit keras tetapi tidak punya dana untuk berobat, atau sastrawan B yang harus berpindah-pindah rumah kontrakan karena harga sewa yang naik tiap tahun, atau sastrawan C yang kesulitan membayar biaya pendidikan anaknya.

Dalam lanskap kapitalisme, keuntungan yang sebesar-besarnya memang merupakan tujuan akhir dari proses pembuatan dan penjualan suatu komoditas. Jika pun karya sastra bisa disebut sebagai barang komoditas, ia akan bertengger di nomor urut terbawah dalam daftar komoditas yang bisa menghasilkan laba. Novel, kumpulan cerpen, atau puisi yang mampu membuat dirinya laku separuh saja dari jumlah cetakan pertama, dalam rentang waktu satu tahun, sudah bisa dikatakan sebagai jagoan.

Tidak salah jika penerbit menomorsekiankan karya sastra karena tujuan mereka sudah jelas; mencari keuntungan. Ukuran para kritikus atas suatu karya sastra, semisal dianggap mampu mengubah dunia, berestetika tinggi, berkarakter yahud, dan lain sebagainya tidak akan pernah menjadi pertimbangan penting para penerbit.

Lantas, kalau situasinya seperti itu, haruskah seorang penulis berhenti memproduksi karya sastra? Jika hal tersebut ditanyakan kepada saya, jawabannya tidak. Bagi saya, sastra tetap harus ditulis dalam kondisi dan situasi apa pun karena merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban saya kepada masyarakat. Hanya lewat sastra, saya mampu mewakili zaman (saya) untuk berbicara tentang apa yang tengah terjadi. Ruang dan kesempatan yang belum menguntungkan bukanlah penghalang untuk terus menulis karya sastra.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com