Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setahun Bibit dan Chandra Jadi Tersangka

Kompas.com - 15/09/2010, 03:37 WIB

Selasa, 15 September 2009, menjadi hari kelam dalam sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini. Tepat setahun lalu, pada hari itu, pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, disangka penyidik Polri melakukan korupsi dan masih menjadi tersangka hingga kini.

Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang dan dijerat dengan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyalahgunaan wewenang itu terkait penerbitan surat pencegahan ke luar negeri untuk Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo. Belakangan, sangkaan berubah menjadi pemerasan terhadap Anggoro Widjojo dan adiknya, Anggodo Widjojo.

Bibit dan Chandra juga sempat dipenjara dan baru dibebaskan setelah desakan massa menguat. Gelombang kemarahan massa pula yang membuat proses hukum di-pending (baca: belum dihentikan). Tim Delapan yang dibentuk Presiden merekomendasikan agar perkara Bibit dan Chandra dihentikan karena tidak cukup bukti dan diduga ada rekayasa.

Presiden kemudian menyampaikan pidato agar perkara Bibit dan Chandra diselesaikan di luar pengadilan. Jaksa Agung Hendarman Supandji menyikapinya dengan menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP). Namun, sejak awal, niat kejaksaan menghentikan perkara Bibit-Chandra patut dipertanyakan karena mereka memilih opsi SKPP dengan alasan yang sangat sumir, yaitu alasan sosiologis yang tidak dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP).

Tim Anggodo dengan jitu memanfaatkan celah ini. Mereka pun memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan untuk membatalkan SKPP ini dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Jaksa Agung sekali lagi bermain karet dengan melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan PT Jakarta. Namun, banyak pihak yang meragukan efektivitas PK ini karena hal ini tidak diatur secara eksplisit di KUHAP.

Kejaksaan memang diragukan komitmennya karena sejak semula mereka ngotot untuk menyeret Bibit dan Chandra ke pengadilan. Bahkan, setelah terbongkar bahwa alat bukti yang disebut Kejaksaan Agung di depan Dewan Perwakilan Rakyat berupa rekaman pembicaraan antara Ary Muladi dan Deputi Penindakan KPK Ade Raharja hingga 64 kali terbukti tidak ada, dia seperti tak bergeming.

Melemahkan KPK

Kini, Anggodo sudah divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena terbukti berupaya menyuap pimpinan KPK. Namun, Anggodo bebas dari dakwaan kedua tentang upaya menghalangi penyidikan korupsi.

”Sidang perkara Anggodo di pengadilan Tipikor memang mengecewakan,” kata Febri Diansyah, Koordinator Divisi Hukum dan Pemantauan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sidang ternyata tak sanggup membongkar ”rekayasa” perkara di balik perkara Bibit-Chandra.

”Anggodo tidak bekerja sendirian, itu jelas tergambar dalam rekaman pembicaraan yang diputar Mahkamah Konstitusi (MK) pada 3 November 2009. Ada penegak hukum yang terlibat. Kenapa hal itu tidak dibongkar di Pengadilan Tipikor?” kata Febri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com