Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Legalitas Jaksa Agung

Kompas.com - 09/07/2010, 04:38 WIB

Mohammad Fajrul Falaakh

Legalitas dan konstitusionalitas Jaksa Agung sudah jelas. Menurut UU Kejaksaan Agung (2004), Jaksa Agung adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Jabatan ini ada dalam sistem ketatanegaraan sebagai turunan dari konsep pemisahan kekuasaan negara dan checks and balances di ranah kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan di Bab IX UUD 1945.

Lain soal ketika Hendarman Supandji, Jaksa Agung kini, dinilai ilegal menduduki jabatannya. Persoalan tambah serius sebab yang mempertanyakan ialah Yusril Ihza Mahendra, Guru Besar Hukum Tata Negara, mantan Menteri Hukum dan HAM, ataupun mantan Menteri Sekretaris Negara. Yusril mempersoalkannya setelah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh penyidik Kejaksaan Agung. Yusril tak hanya keberatan ditetapkan sebagai tersangka, tetapi juga menyerang balik Hendarman yang diwujudkan dengan pengujian UU Kejaksaan Agung 2004 di Mahkamah Konstitusi terkait syarat dan prosedur pengangkatan ataupun pemberhentian Jaksa Agung.

Kalau Hendarman terbukti ”gadungan”, banyak kebijakan dan tindakannya terancam tak sah atau dapat dibatalkan. Kalau Jaksa Agung mengintervensi jaksa penyidik mengubah status Yusril bukan tersangka, berarti Hendarman ragu tentang legalitasnya menjabat Jaksa Agung.

”Bintang Mercedes”

Menarik mengetahui asal-usul ”bintang Mercedes” menjadi satu simbol untuk tiga nomenklatur: Kejaksaan, jaksa, Jaksa Agung. Ketiganya terkait, tetapi memiliki pengertian berbeda. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 41 UU Kekuasaan Kehakiman 2004), tetapi Kejaksaan bukan lembaga yudikatif dan jaksa bukan hakim. Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa Agung jelas berada di dalam ”rezim” kekuasaan kehakiman.

Praktik ketatanegaraan di sini menunjukkan bahwa kontrol kekuasaan dan keinginan kalangan Kejaksaan sering menempatkan Jaksa Agung sebagai menteri atau setingkat menteri. Meski Jaksa Agung sering dimenterikan, Kejaksaan bukan kementerian. Kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara tak serta-merta menempatkannya sebagai anggota kabinet. Perekrutan dan pemberhentiannya tak dapat disamakan dengan anggota kabinet.

Kedudukan Kejaksaan yang lain dari yang lain atau ”yang bukan-bukan” ini memungkinkan fungsi Kejaksaan meluas dan menciut. Maka, fungsi pokok Kejaksaan selaku lembaga pemerintahan: melaksanakan kekuasaan negara bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Pasal 2 UU Kejaksaan 2004.

Karena jaksa menjalankan fungsi penuntutan, atas nama prinsip negara hukum: fungsi itu harus dijalankan secara merdeka. Independensi Kejaksaan ini makin menguatkan kedudukannya di ranah kekuasaan kehakiman sehingga UU Kejaksaan 2004 menegaskan kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara (bukan dimenterikan).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com