Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Metamorfosis Partai Politik

Kompas.com - 26/06/2010, 03:27 WIB

Oleh Salahuddin Wahid

Munas Partai Keadilan Sejahtera 2010 memutuskan membuka diri bagi pengurus non-Muslim. Walau merupakan penegasan sikap yang diambil di Denpasar 2008, sikap itu tetap menarik perhatian karena dilakukan melalui perubahan AD/ART.

Tanggapan terhadap sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu beragam. Di dalam kalangan PKS ada yang menolak, ada yang menerima. Di luar PKS ada yang menganggap strategi itu tepat, ada juga yang menganggapnya sebagai langkah kontraproduktif. Akan lebih banyak jumlah mereka yang meninggalkan PKS dibandingkan dengan pemilih baru.

Ada yang menilai langkah itu hanya basa-basi demi meningkatkan perolehan suara, bukan perubahan yang bersifat ideologis. Sejarah akan menilai apakah langkah tersebut sungguh-sungguh dan jitu, atau pura-pura dan keliru.

Aspek keagamaan

Para pengamat berpendapat bahwa PKS melakukan transformasi dari partai (paling) kanan menjadi partai tengah. Perubahan itu membuat partai paling kanan saat ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai paling kiri adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Yang dianggap partai (paling) tengah adalah Partai Golkar dan Partai Demokrat. Seberapa benar penilaian itu dan apa dasarnya dapat dilakukan terhadap dua aspek: sikap terhadap aspirasi keagamaan (Islam) dan kebijakan ekonomi.

Tipologi partai besar berdasarkan Pemilu 1955 menunjukkan adanya partai Islam (Masyumi dan NU), partai nasionalis (PNI), dan partai Marxis (PKI). Perbedaan antara partai itu tampak jelas dan disebut politik aliran. Dalam konstituante, partai-partai Islam menghendaki negara berdasarkan Islam, partai nasionalis mendukung negara berdasarkan Pancasila, dan PKI mendukung Pancasila sebagai taktik.

Dalam masalah kebijakan ekonomi, semua partai mendukung kebijakan Bung Karno yang antimodal asing, terutama PKI yang sangat mendukung keterlibatan penuh negara dalam kegiatan ekonomi. PKI aktif mendorong nasionalisasi perusahaan milik pihak Belanda dan Inggris.

Dalam era Orde Baru, sepuluh partai yang ada dikurangi menjadi tiga dengan PPP sebagai representasi Islam (kanan), PDI sebagai representasi pengikut Bung Karno (kiri), dan Golkar sebagai partai tengah. Menyikapi RUU Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan hukum Islam, PPP tegas menolak. Soeharto menerima usul para ulama di bawah pimpinan Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri yang menghendaki UU Perkawinan mengakomodasi ketentuan syariat Islam.

Hanya PDI yang menolak UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan itu. Kita melihat kini tak ada yang menentang keberadaan UU itu, tetapi masih ada suatu hal yang menjadi masalah: apakah pelaku poligami tanpa izin istri pertama harus dihukum? Apakah nikah siri harus dilarang? Partai yang mungkin menentang nikah siri tampaknya hanya PDI-P. Apakah PDI-P dapat dianggap sebagai partai kiri dalam masalah ini dan partai lainnya disebut partai tengah? Atau sebaliknya, PDI-P adalah partai tengah dan partai lain adalah partai kanan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com