Salahuddin Wahid
Mengikuti pandangan pemerintah dan DPR, sebagian warga Sidoarjo menganggap lumpur Lapindo sebagai bencana alam dan Lapindo Brantas tidak bersalah. Maka, Yuniwati dan Wiwid tidak punya rekam jejak negatif, bahkan dianggap punya modal sosial-politik sebagai calon bupati.
Apakah semburan lumpur itu merupakan bencana alam atau kesalahan Lapindo Brantas? Perlu tinjauan tiga aspek untuk menjawab: aspek keteknikan (khususnya pengeboran), hukum, dan politik.
Untuk aspek keteknikan, sebagian besar insinyur pengeboran menyatakan bahwa kasus terjadi akibat kesalahan teknis di lapangan. Fakta pendukung telah disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. Ini didukung insinyur pengeboran internasional dalam konferensi di Capetown (2008). Mayoritas ahli geologi Indonesia menyatakan, peristiwa itu adalah dampak gempa bumi di kawasan Yogyakarta. Pendapat itu dibantah banyak pihak.
Belum ada pertemuan ilmiah antara kedua kelompok di atas untuk adu argumentasi. Seminar yang diadakan para ahli pendukung Lapindo Brantas tidak pernah mengundang para ahli pengeboran. Sebaliknya para ahli pengeboran pernah mengundang para ahli geologi pendukung Lapindo Brantas, tetapi tidak ada tanggapan.
Sebagai lembaga ilmiah terkemuka, ITB bisa berprakarsa menyelenggarakan diskusi antara kedua kelompok ahli yang bertentangan pendapat itu sehingga bisa menjawab pertanyaan ilmiah dengan jawaban ilmiah, bukan politis.
Memang, Mahkamah Agung memutuskan bahwa peristiwa lumpur Lapindo adalah bencana alam sehingga dari aspek politik dan legalistik formal posisi Lapindo berada di atas angin. Kalau dari tiga aspek itu dinyatakan bahwa kasus itu adalah bencana alam, Lapindo dapat dianggap telah bermurah hati dengan mengeluarkan dana untuk membantu para korban, yang konon jumlahnya mencapai Rp 5 triliun. Muncul kekhawatiran di kelompok pembela warga Lapindo bahwa pihak Lapindo akan meminta penggantian dana 5 triliun itu kepada pemerintah.
Kalau Lapindo Brantas sampai hati meminta penggantian dana tersebut, saat ini secara politik hal itu lebih mungkin dilakukan karena Ical memegang posisi yang amat strategis. Dia bukan seorang menteri sehingga tidak perlu khawatir ada hal yang membuat posisinya terjepit. Dia lebih punya kekuatan politik karena menjadi Ketua Umum Partai Golkar dan juga Ketua Harian Setgab Koalisi.