Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potret Komunitas Tionghoa di Surabaya

Kompas.com - 26/05/2010, 00:49 WIB

Judul Buku: Komunitas Tionghoa di Surabaya
Penulis: Andjarwati Noordjanah
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xv + 151 halaman
Harga: Rp 32.000,-
Peresensi: Supriyadi*)

KOMPAS.com — Pada 14 Februari lalu diperingati sebagai tahun baru Imlek. Sebenarnya tahun baru Imlek tersebut tidak ada kaitannya dengan bangsa dan masyarakat Indonesia karena perhitungan kalender di Indonesia tidak ada yang sesuai dengan kalender China (Tionghoa). Berkat sikap pluralis mantan Presiden Abdurrahman Wahid, tahun baru Imlek pun diakui dan dihargai keberadaannya di Indonesia sehingga diperingati sebagai hari libur nasional. Hal itu disebabkan banyaknya kuantitas komunitas Tionghoa yang berdomisili di Indonesia.

Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia sebenarnya sudah lama. Jauh sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Tionghoa sudah banyak yang berdatangan ke Indonesia. Bahkan, komunitas Tionghoa pun telah memerankan berbagai bidang di Indonesia, seperti ekonomi, politik, dan sejumlah bidang sosial lainnya. Oleh karena itu, komunitas Tionghoa sudah bukan komunitas yang asing lagi.

Sebagaimana yang diketahui, kini komunitas Tionghoa telah menyebar di sejumlah wilayah Indonesia. Kota-kota besar seperti Batavia (Jakarta), Yogyakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya, dan kota-kota lainnya menjadi kota yang menjadi tujuan komunitas tersebut untuk melakukan berbagai kegiatannya.

Buku berjudul Komunitas Tionghoa di Surabaya yang ditulis oleh Andjarwati Noordjanah menyoroti komunitas Tionghoa yang berdomisili dan melakukan kegiatannya di Surabaya dengan temporal dari tahun 1910 hingga 1946. Pada masa itu adalah masa ketika kaum kolonial Belanda dan Jepang menjajah Nusantara yang  kemudian terbentuklah Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka.

Kota Surabaya pada masa itu merupakan kota besar dengan komunitas Tionghoa terbanyak kedua setelah Batavia. Oleh karena itu, kota Surabaya dalam sejarahnya tidak lepas dari peranan orang-orang Tionghoa yang menetap di kota tersebut. Dengan demikian, potret komunitas Tionghoa di kota Surabaya sungguhlah hal yang menarik.

Orang-orang Tionghoa, baik di kota Surabaya maupun di kota-kota lainnya, secara fisik sangat berbeda dengan penduduk pribumi dan pendatang dari negara asing lainnya. Dilihat dari ciri-ciri fisik, orang Tionghoa umumnya mudah untuk dikenali. Mereka memiliki kulit yang lebih kuning daripada penduduk pribumi, bentuk tubuh juga pendek dan bulat, sementara mata agak sipit, tidak sebesar dan selebar penduduk pribumi. Sejak Dinasti Tjing berkuasa di Tiongkok, maka diberlakukanlah aturan bagi kaum laki-laki untuk memelihara kuncir. Peraturan tersebut juga berlaku dan dipelihara pada orang Tionghoa yang berada atau menetap di luar Tiongkok, termasuk pula di Surabaya. Dari ciri-ciri tersebut, cukuplah untuk mengenal identitas orang-orang Tionghoa.

Komunitas yang didiskriminasi

Temporal antara tahun 1910-1946, bangsa Indonesia mengalami tiga fase. Pertama, fase akhir penjajahan kolonial Belanda (Hindia-Belanda), kemudian imperialisme Jepang, dan masa awal kemerdekaan Indonesia.

Pada fase pertama, di mana Indonesia, khususnya kota Surabaya, masih diduduki oleh Belanda, komunitas Tionghoa diperlakukan secara berbeda (diskriminasi). Perlakuan tersebut diterapkan oleh pihak kolonial Belanda. Orang-orang Tionghoa ketika itu dilarang untuk menghilangkan ciri khas dan tanda fisik yang melekat (termasuk kuncir). Bagi orang beretnik Tionghoa yang menghilangkan tanda fisik sebagai ciri khas tersebut dikenakan hukuman oleh pihak kolonial Belanda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com