Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polisi dan Kebebasan Beragama

Kompas.com - 29/01/2010, 03:15 WIB

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

Baru-baru ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendesak Kepala Kepolisian RI agar menindak tegas mereka yang merusak tempat ibadah karena itu melanggar kebebasan beragama. Seperti diberitakan Kompas, Selasa (19/1), tuntutan itu disambut baik oleh Polri.

Ini berita menggembirakan dan langkah penting. Tuntutan Komnas HAM patut didukung. Kemitraan antara Polri dan masyarakat sipil, terutama para pemimpin agama dan penggiat HAM, harus jadi arus utama cara kita menangani konflik agama.

Mengaitkan keduanya, pemolisian dan konflik keagamaan sangat penting. Salah satu tugas polisi adalah menjamin keamanan warga negara, termasuk ketika mereka menjalankan hak untuk bebas beragama. Tugas polisi lainnya menjaga ketertiban sosial: antara lain berbentuk diselesaikannya berbagai konflik, termasuk konflik agama, secara damai, apalagi jika kita ingat betapa agama berperan penting di Tanah Air.

Paradoks

Sayangnya, kaitan pemolisian dan hak bebas beragama sangat jarang diperhatikan, termasuk oleh para penggiat kebebasan beragama atau HAM secara umum. Keduanya berjalan sendiri-sendiri. Dalam evaluasinya tentang Polri pada tahun lalu, Unfinished Business (2009), Amnesty International sama sekali tak menyinggung ihwal pelanggaran kebebasan beragama. Sementara itu, dalam beberapa laporan tentang kinerja kebebasan beragama, seperti yang diterbitkan The Wahid Institute atau Setara Institute, polisi tidak memperoleh sorotan khusus.

Dapat dipastikan, ini bermula dari ketidakpercayaan umum terhadap institusi Polri. Dalam jajak pendapatnya yang terakhir, Kompas (16/11/2009) melaporkan bahwa hanya 32,6 persen dari respondennya yang menyatakan puas akan kinerja profesional Polri.

Agar HAM bisa ditegakkan, kita tak bisa lain kecuali bekerja bersama-sama meningkatkan kapasitas Polri dalam menjalankan tugasnya dengan benar. Menjadi lebih penting lagi hal ini ditekankan sebab saat ini kita berada dalam era yang disebut transisi menuju demokrasi. Di mana-mana, era seperti ini ditandai oleh sebuah paradoks: sementara tuntutan akan penegakan hak meningkat, kapasitas negara (baca: Polri) di dalam memenuhi kewajibannya justru sedang melemah karena ambruknya otoritarianisme.

Inilah kendala sekaligus tantangan kedua pihak: memperkuat praktik pemolisian yang ramah terhadap kebebasan beragama di tengah transisi menuju demokrasi. Yang diharapkan muncul dari situ adalah sebuah praktik pemolisian yang oleh Amnesty International (2009), disebut ”pemolisian berbasis HAM”.

Tiga kendala

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com