Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benteng Terakhir Pertahanan Ciliwung

Kompas.com - 19/01/2009, 07:32 WIB

Oleh Esther Lince Napitupulu

Cacu (65), Ketua RT 02 RW 06, Kampung Cibulao, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, mewakili semua warganya, Minggu (18/1) bersungguh-sungguh mengatakan, mereka tidak berani lagi menebang pohon dari hutan yang mulai rusak sejak tahun 1987-an.

"Pohon yang semakin jarang terlihat di telaga air karena penebangan liar mengkhawatirkan warga. Awalnya, karena takut ditangkap polisi hutan, tetapi sekarang karena warga takut kesulitan mengalirkan air dari telaga ke rumah-rumah," ujar Cacu.

Kerusakan hutan di sekitar Telaga Saat dan Telaga Gayonggong, yang merupakan daerah penyimpan air dan mengalirkannya ke Sungai Ciliwung melalui sungai bawah tanah, menyebabkan kualitas kedua telaga ini menurun.

Kini, Cagar Alam Telaga Warna memang tidak sepenuhnya bebas dari perambahan. Sewaktu harga minyak tanah naik tahun 2005, Cagar Alam Telaga Warna sempat dirambah penduduk di sekitar kawasan dengan mengambil ranting kayu.

Tekanan biaya hidup dan kondisi ekonomi yang serba sulit membuat masyarakat mencari jalan pintas untuk mendapatkan kayu bakar.

Namun, kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan perlahan pulih tatkala penduduk dihadapkan pada pilihan kerusakan hutan yang mengancam erosi dan longsor di hunian mereka. Apalagi, kerusakan di kawasan penyangga cagar alam dan telaga yang merupakan puncak keseimbangan ekosistem kini terus berlanjut.

Saat musim kemarau, air dari Telaga Gayonggong yang dialirkan melalui pipa ke rumah warga terhenti karena kedalaman air bisa turun hingga 2-3 meter. Adapun Telaga Saat tidak lagi dipakai warga karena tercemar buangan limbah dari villa dan wisatawan yang datang.

"Tidak banyak yang bisa diperbuat warga. Sebab, warga di sini untuk hidup saja sudah sulit. Paling, kami mulai terlibat dengan penghijauan hutan yang mulai dilakukan pemerintah," ujar Cacu.

Pada kawasan penyangga Cagar Alam Telaga Warna, sekitar 70 persen areal berbatasan dengan lahan Perum Perhutani, 25 persen areal perkebunan rakyat, dan 5 persen merupakan tanah hak milik. Alih fungsi kawasan, di antaranya untuk kebun kopi, memicu laju erosi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com