Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menuju Kesempurnaan Cinta

Kompas.com - 18/10/2008, 16:00 WIB

SIAPA yang tidak tahu apa pun, tidak mencintai apa pun. Siapa yang tidak melakukan apa pun, tidak memahami apa pun. Barangsiapa tidak memahami apa pun, tidak memiliki arti.

Sebagai makhluk, manusia membutuhkan berbagai macam relasi. Entah antara dirinya dengan manusia lain, dengan lingkungan, dunia luas, maupun dengan Tuhan yang menciptakannya. Namun, pada mulanya, manusia hadir di bumi dalam kesendirian.

Ia pun sesuatu yang unik, keadaan yang sebenarnya membuat ia terpencil. Untuk itulah ia secara alamiah senantiasa berusaha menciptakan hubungan.

Salah satu motif, juga makna —mungkin yang terpenting, dalam berbagai hubungan itu adalah apa yang kita kenal dengan: cinta. Semacam kandungan perasaan yang timbul dari kegelisahan akan keterpisahan atau keterpencilan.

Bagi manusia dewasa, cinta merupakan perwujudan penyatuan yang esensial, yang memberi kemungkinan manusia menemukan orang lain dalam dirinya, walaupun individualitasnya tetap terjaga. Penyatuan tanpa peleburan, di mana sesungguhnya bukan situasi saling memiliki yang terjadi, tetapi keberadaan yang sejajar di antara keduanya.

Konsep ”saling memiliki” mengindikasi hilangnya subyektivitas manusia, lantaran pemosisiannya sebagai benda, obyek yang pasif. Sementara itu, cinta tidak harus melucuti posisi manusia sebagai subyek, dengan kapasitas yang sama baik dalam memberi maupun menerima.

Seperti dinyatakan Martin Buber, manusia mempunyai dua relasi fundamental, yaitu relasi dengan benda (Ich-Es) serta relasi dengan sesama manusia dan Tuhan (Ich-Du). Maka ketika manusia berusaha memiliki sesamanya, di sana tidak ada hubungan Aku-Engkau, karena yang ada adalah hubungan Aku-Itu. Di mana dunia yang dicitrakan, adalah dunia benda-benda, sesuatu yang dibendakan lewat semacam bentuk relasi yang dominatif.

Dalam konteks ini, Buber membawa istilah hubungan (erfahrung) yang dikhususkan bagi relasi antarmanusia dengan manusia, dengan dialog sebagai moda komunikasi utamanya. Sedang hubungan antara ”aku” (manusia) dengan benda senantiasa menjadikan subyek itu merasa sepi, karena lenyapnya kesetaraan. Karena pada dasarnya keberadaan ”Aku” ditentukan oleh adanya ”engkau” dalam ”Aku”.

Cinta destruktif

Kesendirian manusia tetap akan terjadi apabila tidak ada pengakuan dalam relasi di atas. Mungkin berbeda dengan pendekatan Marxis, alienasi semacam ini terjadi bukan karena manusia kehilangan dirinya, tetapi lebih pada hilangnya ”engkau”.

Begitu pun dalam relasi yang terbentuk karena cinta, kehampaan dan kesendirian terjadi bukan karena lenyapnya obyek cinta. Semacam obyektivasi yang terjadi saat kita menyatakan telah ”jatuh cinta”. Sejatinya cinta tidak pernah jatuh, sebab cinta yang jatuh memiliki bawaan yang dominatif, dan karenanya memiliki kecenderungan yang destruktif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com