Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batu Bara Membara

Kompas.com - 11/08/2008, 03:00 WIB

Pemerintah sedang gencar mendorong investasi agar percepatan pertumbuhan ekonomi lebih berkelanjutan. Modal dasar sudah tersedia, yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Keberadaan UU ini diharapkan lebih memberikan kepastian bagi para investor.

Ada yang berpandangan, UU ini sangat liberal sehingga berpotensi memperkokoh cengkeraman pemodal, terutama asing, terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan, sementara kalangan telah melayangkan permohonan pengujian materi kepada Mahkamah Konstitusi atas UU ini karena dipandang beberapa pasal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagian permohonan itu dikabulkan dan sebagian lainnya ditolak.

Persepsi bahwa kaum pemodal telah menguasai roda perekonomian dan berpotensi menggerogoti kedaulatan tampaknya kian menyeruak. Sentimen antiasing (xenofobia) tambah gencar, antara lain karena diilhami oleh kebangkitan sosialisme di Amerika Selatan.

Seberapa besar sebenarnya peranan investasi asing langsung di dalam perekonomian Indonesia? Data menunjukkan, selama ini peranan investasi asing di Indonesia tergolong kecil. Porsi arus penanaman modal asing (PMA) langsung di dalam pembentukan modal tetap kotor rata-rata dalam tiga tahun terakhir hanya 7 persen. Sementara itu, akumulasi (stok) PMA hanya 5,2 persen terhadap produk domestik bruto. Angka ini jauh lebih rendah ketimbang seluruh negara sosialis di Amerika Selatan, seperti Brasil (20,8 persen) atau Venezuela (25 persen).

Untuk menyikapi praktik pengelolaan sumber daya alam, kita memiliki acuan yang pasti, yakni Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Pemerintah tak punya cukup modal untuk mengelola langsung kekayaan negara. Tak berarti, karena itu, negara kehilangan kedaulatan. Pemerintah memiliki kendali penuh.

Dalam kasus minyak, berlaku ketentuan bagi hasil 85 persen pemerintah dan 15 persen kontraktor. Masih ada kewajiban kontraktor menyisihkan 15 persen bagian mereka untuk pasar domestik dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga internasional.

Terakhir, muncul persoalan dengan usaha pertambangan batu bara. Sampai-sampai para anggota direksi dan komisaris beberapa perusahaan batu bara dicekal.

Sumber kekisruhan adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000, yang memasukkan komoditas batu bara sebagai barang bukan kena pajak sehingga beberapa perusahaan pertambangan batu bara tak bisa memperoleh restitusi PPN. Perusahaan yang dirugikan hanyalah yang terikat dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi pertama.

Tentu saja perusahaan-perusahaan PKP2B sewot karena sesuai perjanjian kontrak karya generasi pertama, mereka dikenai tarif pajak perseroan jauh lebih tinggi, yakni 45 persen. Padahal, tarif pajak tertinggi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku hanya 30 persen, bahkan akan segera diturunkan menjadi 25 persen sesuai dengan UU terbaru. Sebagai kompensasi pembayaran pajak perseroan yang lebih tinggi, isi kontrak karya menjamin sistem perpajakan yang tetap. Maka, sesuai dengan kaidah lex specialis, PP No 144/2000 seharusnya tak berlaku bagi mereka.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com