JAKARTA, KAMIS – Bagi sebagian orang, mendaki sebuah puncak gunung merupakan kenikmatan tiada tara. Menembus kesukaran jalan yang mendaki, udara dingin, dan semak belukar bukanlah penderitaan, tapi keasyikan. Sukar melukiskan perasaan di dada begitu kaki menginjak puncak.
Tapi, bepergian mendaki gunung jelas berbeda dengan bepergian lain. Diperlukan persiapan ekstra selain sekadar mengepak bawaan. Jika persiapan ini diabaikan, akibatnya bisa fatal. Sejumlah kelalaian bisa mengancam nyawa para pendaki.
Sejumlah orang bertanya, mana yang lebih berat, perjalanan mendaki atau turun? Banyak orang beranggapan bahwa perjalanan mendaki lebih berat.
Tapi, tahukah Anda, sekitar 70 persen kecelakaan di gunung terjadi pada saat turun gunung. Terdapat banyak faktor yang memengaruhinya, namun kondisi fisik dan pengalaman merupakan faktor utama.
“Biasanya, pendaki bergegas mendaki gunung untuk mengejar momen sehingga pada saat turun sudah drop dan tidak memiliki tenaga lagi. Kebanyakan orang berpikir turun lebih mudah daripada mendaki, padahal sebenarnya sama saja,” ujar Pemimpin Redaksi National Geographic Indonesia Tantyo Bangun kepada Kompas.com, Kamis (10/7). Tantyo pernah menjadi menjadi Manajer Ekspedisi Mount McKinley tahun 1989.
Tantyo—yang telah mendaki sekitar 30 gunung di Indonesia dan gunung-gunung di luar negeri, termasuk Gunung Aconcagua (6.959 meter), gunung tertinggi di Amerika Selatan—mengatakan, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan oleh para pendaki yang ingin mendaki gunung, terutama gunung es. Hal tersebut adalah: