Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketupat Kandangan dan Lontong Orari

Kompas.com - 03/07/2008, 07:07 WIB

Sudah terlalu lama saya tidak berkunjung ke Banjarmasin. Entah kenapa, kota yang satu ini agak jarang masuk ke dalam layar radar saya. Kalau dulu saya selalu terpesona dengan berbagai hidangan itik (bebek) di kota ini, rupanya bebek-bebek yang sudah makin membebek di berbagai kota Nusantara sudah jauh meninggalkan kualitas masakan itik Banjarmasin yang masih “begitu-begitu” saja.

Mungkin sekali saya sudah terlanjur bias alias opinionated dalam hal ini. Bagi saya saat ini, hanya ada satu bebek yang top markotop. Tempatnya di Solo. Bebeknya mak nyuss. Sambalnya dahsyat. Semua bebek – mau tidak mau – terpaksa dipatok standarnya berdasarkan bebek Solo itu. Bebek Bukittinggi berada satu garis tipis di bawah bebek Solo ini. Semua yang lain lalu menjadi so-so.

Padahal, dulu Banjarmasin punya reputasi unggul dalam soal itik atau bebek. Di sekitar Amuntai, sekitar tiga jam perjalanan dari Banjarmasin, dikenal itik Alabio yang berbeda dari jenis bebek yang biasa kita dapati di Jawa.

Di masa lalu, saya bahkan pernah mendengar bahwa para peternak melakukan proses khusus untuk membuat daging itik Alabio ini lebih empuk ketika dimasak. Caranya? Bebek-bebek itu “ditanam” dalam lumpur sawah selama seminggu. Hanya leher dan kepalanya saja yang menyembul ke luar, sementara seluruh badannya terbenam di dalam lumpur yang agak padat, sehingga bebek tetap terjebak di dalamnya.

Setelah seminggu, bebek ini “dicabut” dari lumpur. Hampir semua bulunya sudah lepas, baru kemudian bebek dipotong. Hasilnya adalah bebek tanpa aroma anyir dan lebih empuk dagingnya. Cara yang “menyiksa” ini mirip dengan cara menghasilkan hati angsa yang lebih besar untuk diproses menjadi foie gras di Prancis.

Dari beberapa penjual masakan bebek di Banjarmasin saya mendapat informasi bahwa itik Alabio sekarang sudah tidak sebaik dulu mutunya. Dagingnya cenderung alot, sehingga sulit dimasak. Katanya, bebek yang sekarang kebanyakan dipakai untuk disajikan dagingnya adalah hasil persilangan antara itik Alabio dengan menthok. Bebek hasil persilangan ini disebut itik bekisar atau itik sarati.

Tetapi, sekalipun bebek Banjarmasin sudah tidak lagi memikat hati saya, ikan patin bakar dari Banjarmasin masih tetap juara dunia. Ini bukan jenis ikan patin yang sejak beberapa tahun terakhir ini populer di Jakarta dan kota-kota besar lainnya – yaitu hasil budidaya dari tambak. Ikan patin di Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, dan Palembang biasanya adalah patin sungai yang masih liar. Beratnya bisa mencapai 15-18 kilogram per ekor. Konon, patin Samarinda suka harum Lux, sehingga ikan ini biasa dipancing dengan sabun mandi ini. Di Banjarmasin lain lagi. Patinnya lebih suka sabun cuci Sunlight. Heran!

Dalam kunjungan ke Banjarmasin terakhir, saya bahkan merasa belum cukup puas makan ikan patin bakar, goreng, maupun kuah, sampai-sampai saya harus membawa pulang ke Jakarta seekor patin yang cukup besar. Udang galah dari sungai-sungai di sekitar Banjarmasin juga terkenal istimewa.

Namun, ada makanan sederhana yang justru sangat memukau saya di Banjarmasin. Makanan ini dikenal dengan nama Ketupat Kandangan. Kandangan adalah sebuah kota di Kalimantan Selatan. Kalau tidak salah, ini adalah daerah asal Hamzah Haz, mantan Wakil Presiden RI. He he, sudah lupa ‘kan bahwa kita pernah punya wakil presiden bernama Hamzah Haz yang kini tidak lagi terdengar namanya. Untungnya, dengan masakan ketupatnya, Kandangan tetap kondang di seluruh Nusantara.

Ketupat adalah makanan yang sangat umum dan dapat dijumpai di berbagai wilayah Nusantara dengan ciri khas masing-masing. Dari Sabang sampai Merauke, kita dapat menemukan berbagai hidangan ketupat dengan ciri-ciri kedaerahan yang khas. Dalam catatan saya, beberapa sajian ketupat yang paling saya sukai adalah: ketupat sayur di Banda Aceh; ketupat dengan sayur pakis di Sicincin, Sumatra Barat; ketupat sayur dengan lauk pindang bandeng di Kebayoran Lama, Jakarta; lontong kari di Bandung; lontong capgomeh di Semarang; ketupat dengan lauk rujak di Madura; tipat cantok di Bali; dan ketupat kandangan ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com