Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Hukum Pengurus Baru Partai Golkar

Kompas.com - 06/06/2016, 04:23 WIB

oleh: Salim Said

Judul di atas adalah tema berita utama di halaman 2  harian Kompas terbitan 27 Mei 2016. Pada alinea pertama berita tersebut terbaca, "Sejumlah kader Partai Golkar yang pernah  tersangkut masalah hukum masuk dalam kepengurusan partai itu periode 2016-2019 yang dipimpin Setya Novanto."

Pada bagian selanjutnya (alinea kedua) berita tersebut dijelaskan lebih jauh, "Dari 75 orang yang ditunjuk menjadi pengurus harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar yang disusun tim formatur pimpinan  Novanto pada Rabu (25/5) dini hari, tiga orang di antaranya  tercatat bekas narapidana. Mereka adalah Ketua Harian Nurdin Chalid, Ketua Bidang Olahraga Fahd A Rafiq, dan Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa Timur, Sigid Haryo Wibisono."

Di samping secara terinci mengulas keterlibatan dan keputusan  hukum yang menempatkan tiga pengurus DPP Partai Golkar itu pada posisi sebagai bekas kriminal, harian Kompas juga mengingatkan pembacanya, "Novanto juga pernah tersangkut kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk minta saham PT Freeport Indonesia pada tahun 2015. Kasus itu  membuat Novanto menyatakan mundur dari posisinya sebagai ketua DPR."

Bukan sebuah kejutan

Berita ini amat berguna untuk menyadarkan pembaca mengenai kualitas Partai Golkar, di samping  juga bermanfaat bagi pencatatan sejarah perkembangan peradaban politik Indonesia. Akan tetapi, berita ini sama sekali bukan sebuah kejutan.

"Nasib" yang menimpa Golkar itu  amat jelas konsisten dengan karakter awal partai tersebut. Rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto  telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik Golkar menjadi kelompok tanpa idealisme dan karena itu sangat pragmatis.

Sebagai alat kekuasaan Soeharto, Golkar memang tidak diperlukan memiliki idealisme sendiri. Tujuan sudah dirumuskan  rezim: tugas tunggal dan  misi terpenting Golkar hanya berteriak  "setuju" pada semua keputusan penguasa. Menoleransi idealisme dalam Golkar hanya akan merepotkan rezim otoriter Orde Baru.

Dengan latar belakang seperti itulah kita harus mengerti terus berkembang biaknya pragmatisme dalam partai tersebut. Dari dulu sampai hari ini.

Reformasi Golkar (menjadi Partai Golkar) di bawah pimpinan Akbar Tandjung pada awal reformasi terbukti gagal. Ibarat dokter, Akbar Tandjung tidak berhasil mengobati penyakit kronis Golkar yang  menjangkiti kelompok politik itu (pada mulanya tidak disebut partai) semenjak kelahirannya. Pragmatisme dalam bentuk mendapatkan kekuasaan dengan segala cara-dulu dengan uang dan kekuasaan, kini melulu dengan uang-ternyata kini sudah merupakan watak melekat pada Partai Golkar.

Menyadari merosotnya pencapaian Partai Golkar pada beberapa pemilu terakhir ini, ketua baru partai tersebut, Setya Novanto , berjanji memimpin partainya  mendapatkan 20 persen  suara dalam Pemilu 2019. Seperti kita ketahui, pada Pemilu 2014, Partai Golkar hanya mendapatkan 14,75 persen, dan berada di bawah pencapaian PDI Perjuangan, setelah sebelumnya pernah memperoleh suara lebih banyak dari partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu.

Terhadap kecemasan sejumlah pengamat politik menyangkut citra partai rusak karena dipimpin sejumlah tokoh yang pernah atau masih punya persoalan hukum, Novanto dengan yakin menafikannya. "Tidak sampai enam bulan (menjabat) citra Golkar pasti akan membaik. Saya jamin itu," kata Novanto kepada pers setelah ia terpilih memimpin partai tersebut lewat Musyawarah Luar Biasa Golkar di Bali.

Riuh rendahnya kecaman kepada Golkar-sebagai  warisan Orde Baru-di awal masa reformasi  ternyata tidak berhasil membuat Partai Golkar mengecil menjadi partai gurem. Apalagi hilang tersapu dari panggung politik Indonesia. Bahkan, sejarah mencatat, partai ini pernah menjadi pemenang pemilu pada era awal reformasi. Pengalaman sejarah bertahannya Golkar tersebut mungkin saja berperan meyakinkan para pemimpin Partai Golkar  bersepakat memberi mandat kepada Novanto memimpin Golkar, sekaligus memilih beberapa pembantunya yang bekas kriminal.

Ladang penelitian

Melihat kenyataan demikian,  yang mungkin penting menjadi topik penelitian ilmuwan politik, terutama komentator terkemuka Golkar akhir-akhir ini, Hanta Yudha, adalah apa  sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat kita? Bagaimana memaknai fenomena bertahannya Golkar sebagai salah satu partai terbesar Indonesia? Apakah masyarakat Indonesia memang senang pada partai yang pernah menjadi alat pendukung kekuatan otoriter?

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Akui Di-bully karena Izin Tambang, PBNU: Enggak Apa-apa, 'Jer Basuki Mawa Beyo'

Akui Di-bully karena Izin Tambang, PBNU: Enggak Apa-apa, "Jer Basuki Mawa Beyo"

Nasional
KPU Minta Pemda Fasilitasi Pemilih yang Baru Berusia 17 Tahun pada Pilkada 2024

KPU Minta Pemda Fasilitasi Pemilih yang Baru Berusia 17 Tahun pada Pilkada 2024

Nasional
PKS Usung Anies-Sohibul untuk Pilkada Jakarta, Wasekjen PKB: Blunder...

PKS Usung Anies-Sohibul untuk Pilkada Jakarta, Wasekjen PKB: Blunder...

Nasional
DPR Desak PPATK Bongkar Pihak Eksekutif-Yudikatif yang Main Judi 'Online'

DPR Desak PPATK Bongkar Pihak Eksekutif-Yudikatif yang Main Judi "Online"

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Dorong Hilirisasi Rempah Nasional

Wapres Ma'ruf Amin Dorong Hilirisasi Rempah Nasional

Nasional
Ketum KIM Segera Gelar Pertemuan Bahas Pilkada 2024

Ketum KIM Segera Gelar Pertemuan Bahas Pilkada 2024

Nasional
Pusat Data Nasional Diretas, Pemerintah Dinilai Kurang Peduli Keamanan Siber

Pusat Data Nasional Diretas, Pemerintah Dinilai Kurang Peduli Keamanan Siber

Nasional
Soal Isu Jadi Menlu Prabowo, Meutya Hafid: Hak Prerogatif Presiden Terpilih

Soal Isu Jadi Menlu Prabowo, Meutya Hafid: Hak Prerogatif Presiden Terpilih

Nasional
Benarkan Data Bais Diretas, Kapuspen: Server Dinonaktifkan untuk Penyelidikan

Benarkan Data Bais Diretas, Kapuspen: Server Dinonaktifkan untuk Penyelidikan

Nasional
1.000 Anggota Legislatif Main Judi Online, PPATK: Agregat Deposit Sampai Rp 25 Miliar

1.000 Anggota Legislatif Main Judi Online, PPATK: Agregat Deposit Sampai Rp 25 Miliar

Nasional
Kembali Satu Kubu di Pilkada Jakarta 2024, PKS dan Anies Dianggap Saling Ketergantungan

Kembali Satu Kubu di Pilkada Jakarta 2024, PKS dan Anies Dianggap Saling Ketergantungan

Nasional
PDI-P Gabung, Koalisi Anies Disebut Bisa Unggul pada Pilkada Jakarta

PDI-P Gabung, Koalisi Anies Disebut Bisa Unggul pada Pilkada Jakarta

Nasional
Personel Polri Ikuti Konferensi FBI Asia Pasifik di Vietnam, Bahas Penggunaan Kripto untuk Kejahatan

Personel Polri Ikuti Konferensi FBI Asia Pasifik di Vietnam, Bahas Penggunaan Kripto untuk Kejahatan

Nasional
Grace Natalie Sebut Kebijakan Fiskal Jokowi Akan Berlanjut di Pemerintahan Prabowo

Grace Natalie Sebut Kebijakan Fiskal Jokowi Akan Berlanjut di Pemerintahan Prabowo

Nasional
Jokowi Ungkap Alasan Pemerintah Pusat Selalu Cawe-cawe Untuk Perbaikan Jalan Daerah

Jokowi Ungkap Alasan Pemerintah Pusat Selalu Cawe-cawe Untuk Perbaikan Jalan Daerah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com