JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, sebaiknya kompensasi terhadap korban terorisme tak perlu melalui putusan pengadilan.
Selama ini, kata dia, seperti dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kompensasi diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
"Harus diputus pengadilan, ada amar putusan, dan pelaku harus terbukti bersalah," kata Supriyadi usai acara diskusi di Hotel Morrissey Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Padahal, tak semua kasus terorisme masuk ke pengadilan.
Ia mencontohkan kasus bom Thamrin, yang semua pelakunya tewas. Dalam kondisi ini, tanpa ada prosedur pengadilan, korban tak bisa mengajukan kompensasi.
Menurut Supriyadi, akan lebih baik jika kompensasi tak perlu melalui mekanisme peradilan, tetapi langsung diberikan dari Menteri Keuangan.
"Sekarang bantuan medis enggak jelas, kompensasi enggak jelas kapan keluarnya, restitusi sudah pasti enggak karena dari pelaku. Siapa pelaku yang bayar?" ujar Supriyadi.
Adapun hal-hal terkait bantuan medis, lanjut dia, sesungguhnya ada dalam konstruksi peraturan menteri kesehatan (menkes) bahwa tanggung jawab korban terorisme ada pada menkes.
Namun, masih ada ketidakjelasan terkait kapan kompensasi dibayarkan, siapa yang membayar, dan berapa yang dijamin. Sebab, penanganan korban terorisme, menurut dia, bersifat multi-stakeholder.
"Rumah sakit kan inginnya ketika orang masuk, jelas siapa yang masuk dan siapa yang bayar. Ini kan menunda bisa tiga bulan klaimnya enggak dibayar. Rumah sakit enggak berani. Makanya, untuk darurat medis, harus sudah jelas siapa yang eksekusi," ujarnya.
Terkait kompensasi yang harus melalui proses peradilan, kata Supriyadi, contohnya adalah pada kasus Bom JW Marriott.
Saat itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya memutus 10 orang korban. Itu pun karena 10 orang tersebut diajukan sebagai saksi.
Adapun korban lainnya, yang tak dijadikan saksi, tidak masuk daftar pengadilan.
"Berarti sebagian besar enggak dibayar. Sepuluh orang itu pun tidak langsung oleh Menkeu pembayarannya. Jadi, melingkar dulu ke Kementerian Sosial setahun lebih pasca-putusan," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.