Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politisi PDI-P: Setya Novanto Sulit untuk Berkelit

Kompas.com - 19/11/2015, 13:54 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), TB Hasanuddin, meminta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto tidak terus berkelit soal dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke PT Freeport Indonesia.

Hasanuddin menjelaskan, saat ini, kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden menjadi semakin terang benderang setelah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menerima rekaman pembicaraan pertemuan antara Novanto, pengusaha minyak Reza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.

"Maroef sebagai mantan perwira intelijen bisa jadi masih punya bukti-bukti lain yang mungkin akan dibuka pada saatnya nanti, jadi sulit untuk berkelit," kata Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/11/2015).

Untuk diketahui, sebelum menjabat sebagai Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef adalah seorang petinggi Badan Intelijen Negara (BIN).

Posisi terakhirnya di lembaga itu adalah sebagai Wakil Kepala BIN pada periode 2011-2014. Dia meniti karier dari seorang perwira di TNI Angkatan Udara.

Dengan kapasitas yang dimiliki Maroef itu, Hasanuddin yakin Maroef punya bukti-bukti pencatutan lainnya. (Baca: "Freeport Jalan, Kita 'Happy', Kita Golf, Kita Beli 'Private Jet'" )

Dia pun tidak mempersoalkan jika Maroef merekam isi percakapan dengan Novanto dan Riza Chalid itu.

"Sebagai mantan Wakil Kepala BIN, pasti ada alasan mengapa pertemuan itu harus direkam karena dianggap ada permintaan yang tidak wajar," ujar purnawirawan TNI ini.

Sementara itu, untuk Setya Novanto, Hasanuddin menyarankan agar Wakil Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR.

Pasalnya, kasus pencatutan nama Presiden yang menyeret Setya Novanto telah banyak dibicarakan publik. (Baca: Setya Novanto Beberkan Kronologi Tiga Pertemuan dengan Bos Freeport)

"Tetap bertahan dengan berbagai macam argumentasi juga akan sia-sia karena rakyat sudah menganggapnya tidak terhormat lagi. Bahkan, dengan terus mempertahankan jabatannya, seluruh institusi DPR akan tercemar," ucap dia.

Menteri ESDM Sudirman Said sebelumnya melaporkan Setya Novanto ke MKD atas dugaan meminta saham dari PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Dalam laporannya ke MKD, Sudirman menyebut Novanto bersama seorang pengusaha menemui bos PT Freeport sebanyak tiga kali. (Baca: Setya Novanto: Saham untuk Negara, Bukan untuk Pak JK)

Pada pertemuan ketiga, menurut Sudirman, Novanto meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres demi memuluskan renegosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport. Sudirman mengaku mendapat informasi itu dari pimpinan Freeport.

Novanto mengakui dirinya bertemu dengan Maroef Sjamsoeddin bersama seorang pengusaha minyak, Reza Chalid. 

Meski menyangkal dirinya mencatut nama Presiden, Novanto membenarkan adanya pembicaraan soal saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu. (Baca: "Luhut", "Darmo", dan "Ridwan" Disebut dalam Transkrip Pencatutan Nama Presiden)

Pada transkrip percakapan yang diterima Kompas.com dari internal DPR, Rezalah yang menyatakan berniat memberi 9 persen untuk JK. 

"Bukan maksudnya dia itu ke Jusuf Kalla, maksudnya ke negara itu," kata Novanto saat ditemui di kediamannya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (18/11/2015) malam.

Novanto mengatakan, saham yang dibicarakan berbentuk divestasi. Divestasi tersebut akan disalurkan ke badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com