"Setuju!" jawab para pelajar.
Itulah potongan dialog antara Presiden Joko Widodo dengan para pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA), di Istana Negara, pada Senin (2/3/2015) lalu. Pernyataan Jokowi lagi-lagi menegaskan bahwa tak ada kompromi bagi para terpidana kasus narkoba.
Di awal pemerintahannya, Jokowi menyatakan menolak 64 permohonan grasi yang diajukan para terpidana mati kasus narkoba. Alasan penolakan grasi, kata Jokowi, untuk memberikan shock theraphy. Menurut dia, tindakan pemerintah mengeksekusi para terpidana mati kasus narkoba untuk memberikan efek jera bagi bandar-bandar narkoba yang masih beroperasi. Jokowi menyebutkan, dalam sehari 50 orang meninggal karena narkoba.
Ia menilai, kondisi ini membuat Indonesia dalam keadaan darurat narkoba. Benarkah demikian?
Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Choirul Anam mengatakan, data penelitian mengenai dampak peredaran narkoba tersebut sudah tidak valid. Menurut Choirul, tidak ada satu pun penelitian yang menunjukkan bahwa hukuman mati efektif mengurangi peredaran narkoba. Alih-alih memberantas narkoba, Choirul mengatakan, keputusan untuk tetap melaksanakan hukuman mati justru membuktikan bahwa pemerintah sudah tidak sanggup mengatasi masalah narkoba.
"Tidak berdasar jika alasannya sudah diuji oleh pakar yang meneliti. Kalau memang keadaan darurat, seharusnya ada langkah-langkah pemerintah, bukannya mengeksekusi mati si pelaku. Ini malah menunjukkan kegagalan pemerintah," kata Choirul kepada Kompas.com, Minggu (15/3/2015).
Di saat yang sama, lanjut Choirul, saat para aktivis dan pegiat hak asasi manusia menagih janji Jokowi untuk menyelesaikan kasus-kasus berat HAM masa lalu, seperti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dan kasus pembantaian massal dalam peristiwa Talangsari, Jokowi justru bergeming. Pilihannya menolak grasi dan mengeksekusi terpidana mati dianggap juga telah melanggar HAM.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menilai, kepemimpinan Jokowi tidak berbeda dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya, hkususnya dalam masalah penegakan HAM. Haris mengaku pesimis Jokowi dapat menunjukkan ketegasannya.
"Jokowi harus belajar tren kemanusiaan. Penegakan HAM tidak ada yang jalan. Omong kosong penegakan hukum, kalau korupsi dan hukuman mati masih dibenarkan," kata Haris.
Tak bisa sapu bersih
Haris menyayangkan sikap Jokowi yang menolak memberikan grasi bagi terpidana mati kasus narkotika. Menurut dia, menilai suatu permohonan grasi, tidak dapat diputuskan secara semena-mena oleh Presiden. Ia mengatakan, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam memutus suatu permohonan grasi.
"Penolakan Grasi tidak bisa sapu bersih. Ada kasus per kasus yang harus diperhatikan," ujar Haris.
Di antara sekian banyak terpidana mati, menurut Haris, ada dua yang dianggap paling perlu mendapat perhatian soal grasi. Mereka adalah warga negara Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, dan warga negara Brasil, Rodrigo Gularte.
Haris menjelaskan, Mary Jane sebelumnya adalah seorang wanita pekerja rumah tangga yang dimanfaatkan majikannya sebagai kurir narkoba. Sementara Rodrigo, sebut Haris, mengalami gangguan kejiwaan, sehingga sesuai aturan hukum, ia tidak dapat dipidana, apalagi dieksekusi mati.