JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding, meminta Hakim Konstitusi untuk menolak permohonan uji materi yang bertujuan sebagai penguatan sistem presidensial. Sudding mengatakan, DPR harus tetap dilibatkan dalam pengangkatan dan pemberhentian kepala Polri dan panglima TNI.
"Dalam presidensial, eksekutif adalah tunggal, namun sebagai konsekuensi negara hukum modern, ada konfigurasi saling kontrol. Check and balances adalah prosedur untuk pengawasan publik melalui lembaga perwakilan," ujar Sudding saat memberikan keterangan dalam sidang pleno di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (10/3/2015).
Menurut Sudding, dalam penyelenggaraan negara yang terbagi dalam 3 kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, diperlukan saling kontrol antara satu lembaga dengan yang lainnya. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi absolutisme, atau keputusan sewenang-wenang.
Politisi dari Partai Hanura ini menambahkan, pengawasan terhadap eksekutif oleh DPR diperlukan untuk membatasi kekuasaan eksekutif, agar tidak terjadi lagi penyalahgunaan wewenang. Selain itu, menurut Sudding, seluruh aspek kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan rakyat, haruslah melalui persetujuan perwakilan rakyat dalam bentuk parlemen.
Sudding menilai, persetujuan dari legislatif itu untuk menjaga agar pemilihan pejabat negara dapat akuntabel. Ia mengatakan, campur tangan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian kepala Polri dan panglima TNI adalah varian dari pengawasan DPR.
"Pelibatan DPR untuk menyetujui atau tidak, dapat disebut sebagai hak konfirmasi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mengawasi kinerja pejabat, agar sesuai konstitusi," kata Sudding.
Gugat di MK
Untuk informasi, sebanyak lima orang pemohon sebelumnya mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 11 ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5, kemudian Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pada Pasal 13 ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5 ayat 6, ayat 7, ayat 8, dan ayat 9, serta Undang-Undang Pertahanan Negara Nomor 3 Tahun 2002.
Pada intinya, pemohon menganggap pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi,"Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar".
Pemohon menilai, seharusnya Presiden diberikan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan kepala Polri dan panglima TNI. Namun, jika dalam hal itu Presiden harus meminta persetujuan cabang kekuasaan lainnya, seperti persetujuan DPR, hal itu dianggap sebagai pemasungan terhadap hak prerogatif Presiden.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.