SURABAYA, KOMPAS.com — Sepuluh orang berdiri mengitari meja identifikasi. Mata mereka menatap sesosok jenazah di atas meja itu. Dua hingga tiga jam ke depan, mereka akan melakukan keahlian mengidentifikasi untuk mengetahui siapa sosok di hadapan mereka.
Sepuluh orang itu memiliki latar belakang yang berbeda dan peralatan identifikasi yang berbeda pula. Mereka bagian dari Indonesian Automatic Fingerprints Identification System (Inafis), dokter forensik, dokter odontologi, ahli properti, dan ahli deoxyribonucleic acid (DNA). Tiap-tiap bidang diwakili dua orang. Satu di antaranya adalah ahli.
"Ya, ibaratnya kita-kita itulah 'bintang filmnya' kalau di meja identifikasi," ujar Kepala Bidang Fotografi Forensik Mabes Polri Komisaris Besar Polisi Gusmono ketika berbincang santai dengan Kompas.com di sela-sela kesibukannya, Jumat (9/1/2015) siang.
Bidang keahlian Gusmono dalam Inafis adalah sebagai yang pertama turun tangan menangani jenazah. Dia mengambil dokumentasi fisik semua bagian jenazah menggunakan kamera digital. Adapun satu rekan lain mengambil sidik jari jenazah menggunakan plastik tebal.
Gusmono dan rekannya menemui kesulitan jika sidik jari jasad tak lagi dalam kondisi baik. Identifikasi pun terpaksa dilakukan dengan metode manual, yakni dengan kaca pembesar. Paling lama, Gusmono membutuhkan waktu 30 menit untuk menyelesaikan tugasnya mengambil data postmortem.
Setelah duo Inafis selesai, giliran tangan ahli lainnya menangani jenazah. Mulai dari memeriksa struktur gigi, pencatatan properti jenazah, hingga pengambilan sampel DNA dari tulang paha. "Satu jenazah itu ditangani dengan waktu yang bervariasi, satu hingga tiga jam," ujar Gusmono.
Pria yang menjadi anggota Inafis sejak lima tahun silam itu mengatakan, keberhasilan identifikasi bergantung pada kerja sama para "bintang film" tadi. Sebab, data postmortem yang mereka ambil akan dicocokkan antara satu dan yang lain untuk mendapat kepastian soal identitas jenazah.
Rindu sayur, berebut buah
Seluruh tim identifikasi sudah mulai bekerja sejak hari kedua setelah hilangnya pesawat AirAsia QZ8501, 28 Desember 2014 silam. Saat ini, mereka sudah memasuki hari ke-11 dan terus bekerja. Pengalaman paling berat yang dirasakan adalah ketika dalam satu hari, tim harus mengidentifikasi 12 jasad sekaligus.
"Tidak bisa kita tinggal. Pagi, kita ambil data postmortem enam jenazah. Siang, istirahat sebentar, lalu lagi sampai malam dengan enam jenazah. Sampai tengah malam itu," ujar Gusmono.
Gusmono dan tim lain menginap di mes yang disediakan di kompleks Mapolda Jawa Timur. Di sana, segala kebutuhan, terutama soal makanan, cukup lengkap. Namun, segala keteraturan itu kerap membuat Gusmono bosan. Dua hal yang dirindukannya adalah sayur dan buah. Maklum, makanan yang disediakan kebanyakan berbahan daging dan kurang variasi menu sayur.
"Makanya, waktu saya keluar sebentar beli pepaya, begitu balik ke mes, langsung habis itu sama teman-teman. Rindu kami sama yang begitu-begitu," ujar dia seraya tertawa.
Bagi Gusmono, meninggalkan keluarganya berhari-hari untuk menjalankan tugas seperti itu adalah hal biasa. Itu sudah dilakukannya sebagai polisi hingga kini menjelang masa pensiun. Bisa jadi, tugasnya mengidentifikasi jasad penumpang AirAsia adalah "panggung" terakhirnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.