Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Diminta Keluarkan Perppu Terkait Penyadapan AS dan Australia

Kompas.com - 04/11/2013, 08:33 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Praktik penyadapan yang dikeluarkan Amerika Serikat dan Australia terhadap instansi dan kelompok di Indonesia harus ditanggapi serius oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden bahkan bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengantisipasi keadaan tersebut.

“Untuk mengantisipasi keadaan ini, sebelum ada Undang-undang dapat diatasi dengan Perppu karena kekosongan hukum ini dapat dipakai sebagai pertimbangan keadaan genting yang memaksa,” ujar Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo di Jakarta, Senin (4/11/2013).

Anggota Komisi I DPR yang membawahi kemiliteran dan hubungan luar negeri itu menilai, keadaan sudah sangat mendesak lantaran banyak terjadi penyadapan oleh negara lain di Indonesia dengan berbeagai kepentingan. Perppu perlu dikeluarkan lantaran hingga saat ini Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan tentang penyadapan.

Mendukung ucapan Tjahjo, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanudin meminta agar Badan Intelijen dan Lembaga Sandi Negara mencari tahu apakah benar praktik penyadapan benar-benar dilakuan di Indonesia oleh negara lain. Kedua lembaga ini juga diminta untuk mengumpulkan sejumlah bukti.

Jika ternyata benar, Hasanudin meminta pemerintah Indonesia mengusir duta besar negara terkait keluar Indonesia. “Syaratnya kita harus punya bukti dulu, sehingga bisa saja kalau mau mengeluarkan Duta Besar negara terkait. Jangan sampai kita tanpa bukti dan sudah melakuan tindakan, nanti Indonesia yang malu,” ujarnya.

Spionase AS dan Australia di Indonesia

Terkuaknya skandal penyadapan komunikasi oleh badan intelijen Amerika Serikat terus meluas. Bukan hanya negara-negara sekutu di Eropa yang menjadi sasaran, melainkan juga beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia.

Australia, salah satu sekutu dekat AS, turut menyadap Indonesia. Laporan terbaru yang diturunkan laman harian Sydney Morning Herald (www.smh.com.au) pada Kamis (31/10) dini hari waktu setempat, atau Rabu malam WIB, menyebutkan, kantor Kedutaan Besar Australia di Jakarta turut menjadi lokasi penyadapan sinyal elektronik.

Surat kabar tersebut mengutip dokumen rahasia Badan Keamanan Nasional AS (NSA) yang dimuat di majalah Jerman, Der Spiegel. Dokumen itu dilaporkan jelas-jelas menyebut Direktorat Sinyal Pertahanan Australia (DSD) mengoperasikan fasilitas program STATEROOM. Itu adalah nama sandi program penyadapan sinyal radio, telekomunikasi, dan lalu lintas internet yang digelar AS dan para mitranya yang tergabung dalam jaringan ”Lima Mata”, yakni Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com