Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Efektivitas DPR dan Curhat SBY

Kompas.com - 01/08/2013, 10:54 WIB

Oleh: Kiki Syahnakri  

Seorang teman bercerita tentang keluhan salah seorang ketua fraksi di DPR bahwa kini sangat sulit melakukan koordinasi lintas ketua fraksi karena banyak yang sudah mulai turun ke daerah pemilihan.

Padahal, banyak masalah penting yang perlu dikoordinasikan, antara lain kenaikan harga kebutuhan pokok dan kekerasan yang dilakukan salah satu ormas. Seperti diberitakan harian ini, 90 persen anggota DPR saat ini kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2014. Maka, setelah Daftar Calon Sementara ditetapkan pada Mei lalu, mereka pun lebih sibuk di daerah pemilihan.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) memperkirakan tugas DPR di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan akan terbengkalai. Padahal selama semester pertama 2013, baru lima UU yang disahkan dari target 70 UU (Kompas, 23/7/2013).

Waktu efektif

Kesibukan anggota DPR di daerah pemilihan pasti berlanjut sampai Pemilu 9 April 2014, disusul perhitungan suara dan penetapannya serta pelantikan pada bulan berikutnya. Belum berakhir di sini, mereka akan terlibat pula dalam kesibukan menghadapi pemilu presiden sampai dengan pelantikannya, Oktober.

Dengan ambang batas parlemen 3,5 persen, diperkirakan Senayan masih akan dihuni sedikitnya tujuh partai politik sehingga apabila presiden terpilih masih tidak berani menetapkan ”kabinet kerja”, pola koalisi dengan politik dagang sapi akan terus berulang. Dengan demikian, kesibukan anggota DPR di luar tugas pokoknya akan berlanjut dengan konsolidasi baik di parlemen maupun di eksekutif yang bisa memakan waktu sedikitnya tiga bulan.

Bila dihitung sejak Mei 2013 hingga Januari 2015, total hampir dua tahun waktu mereka hanya digunakan untuk kepentingan perolehan suara dan konsolidasi kekuasaan. Berarti dari lima tahun masa bakti, hanya tiga tahun waktu efektif mereka dalam pengabdiannya, itu pun kalau benar-benar digunakan demi kepentingan rakyat. Dengan kata lain, kiprah para anggota DPR cenderung lebih banyak tersita untuk urusan kekuasaan dan kepentingan pribadi ataupun kelompok/partai, bukan tugas pokoknya.

Curhat SBY

Terkait hal itu, kita coba tarik relevansi fenomena tadi dengan refleksi/curhat Presiden SBY saat berbuka puasa bersama wartawan di Istana Negara, Rabu (17/7), seperti dilansir harian ini pada edisi Kamis (18/7). Ada lima poin reflektif yang ia lontarkan dan semuanya faktual. Sesungguhnya Presiden sendirilah yang harus menjawab dan mengatasinya karena beliau berdiri pada posisi sentral dalam menghadapi berbagai problem bangsa.

Di antaranya, Presiden mempertanyakan apakah sistem ketatanegaraan kita saat ini merupakan yang terbaik bagi bangsa ini. Penulis dapat langsung merespons dengan menegaskan ”sistem ini buruk dan eksesif” karena terlalu liberalistik.

Sistem demokrasi liberal dengan ciri kompetisi bebas terbukti tidak cocok dengan basis kultural bangsa maupun tingkat kedewasaan masyarakat, khususnya para elite parpol. Kebebasan sebagai syarat berdemokrasi pun tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Sebaliknya malah menimbulkan kebebasan nyaris tanpa batas yang menyuburkan Machiavellianisme, meningkatkan perilaku perburuan kekuasaan yang bisa melanggengkan multipartai serta korupsi.

Perekrutan kepemimpinan melalui sistem ini pun minim sekali melahirkan pemimpin berkualitas pada semua level kepemimpinan. Gejala kinerja DPR di atas merupakan salah satu ekses dari model sistem demokrasi liberal, pemilihan langsung one man-one vote yang akhirnya memaksa calon anggota legislatif harus berada di daerah pemilihan berlama-lama mengais suara.

Pertanyaan Presiden SBY tentang ”apakah check and balances antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah baik dan berimbang”. Perlu diingat bahwa ”baik dan berimbang” tak berarti sekadar saling mendukung dan mengisi kepentingan masing-masing karena berada dalam satu perahu koalisi. DPR harus menjalankan tugas, kewajiban, dan fungsinya dengan maksimal dan berorientasi pada kepentingan nasional, bukan kepentingan segmental-partikularis. Jadi, pada saat dan dalam masalah tertentu DPR harus mampu bersikap kritis-korektif terhadap eksekutif. Pola koalisi justru membuka jalan bagi terjadinya perselingkuhan politik dan perkawinan kepentingan, baik antarlembaga maupun perorangan.

Berikutnya, Presiden bertanya apakah demokrasi, stabilitas, dan pembangunan bisa hidup berdampingan. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebebasan yang dibuka oleh liberalisme justru telah meningkatkan dengan tajam konflik komunal, tawuran, dan turbulensi sosial secara kuantitas maupun kualitas. Jadi, amat benderang bahwa dengan sistem demokrasi yang ditanamkan ini justru kita telah memanen instabilitas sehingga ”pasti” akan mengganggu proses pembangunan.

Memang ada pakar yang mengatakan bahwa ini wajar dalam masa transisi demokrasi. Dibutuhkan tujuh kali pemilu—dihitung per 2004—untuk sampai pada tingkat kedewasaan yang akan menghasilkan stabilitas. Pertanyaannya, apakah kita yakin akan sampai pada stabilitas atau sebaliknya, justru akan bermuara pada perpecahan bangsa. Seyogianya kita tidak berspekulasi dalam menentukan sistem demokrasi. Gelagat yang ada menunjukkan ke arah kemungkinan kedua itulah kehidupan bangsa ini sedang mengarah.


KIKI SYAHNAKRI, Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bertemu Menhan AS, Prabowo: Saya Apresiasi Dukungan AS Dalam Modernisasi Alutsista TNI

Bertemu Menhan AS, Prabowo: Saya Apresiasi Dukungan AS Dalam Modernisasi Alutsista TNI

Nasional
Bertemu Zelensky, Prabowo Bahas Bantuan Kemanusiaan untuk Gaza

Bertemu Zelensky, Prabowo Bahas Bantuan Kemanusiaan untuk Gaza

Nasional
Keluarga Besar Sigar Djojohadikusumo Gelar Syukuran Terpilihnya Prabowo Presiden RI di Langowan

Keluarga Besar Sigar Djojohadikusumo Gelar Syukuran Terpilihnya Prabowo Presiden RI di Langowan

Nasional
Banyak Keterlambatan, Ketepatan Penerbangan Jemaah Haji Baru 86,99 Persen

Banyak Keterlambatan, Ketepatan Penerbangan Jemaah Haji Baru 86,99 Persen

Nasional
Kemenhub Catat 48 Keterlambatan Penerbangan Jemaah Haji, Paling Banyak Garuda Indonesia

Kemenhub Catat 48 Keterlambatan Penerbangan Jemaah Haji, Paling Banyak Garuda Indonesia

Nasional
PSI: Putusan MA Tak Ada Kaitannya dengan PSI maupun Mas Kaesang

PSI: Putusan MA Tak Ada Kaitannya dengan PSI maupun Mas Kaesang

Nasional
Kunker ke Sichuan, Puan Dorong Peningkatan Kerja Sama RI-RRC

Kunker ke Sichuan, Puan Dorong Peningkatan Kerja Sama RI-RRC

Nasional
Jokowi Beri Ormas izin Usaha Tambang, PGI: Jangan Kesampingkan Tugas Utama Membina Umat

Jokowi Beri Ormas izin Usaha Tambang, PGI: Jangan Kesampingkan Tugas Utama Membina Umat

Nasional
MA Persilakan KY Dalami Putusan Batas Usia Calon Kepala Daerah

MA Persilakan KY Dalami Putusan Batas Usia Calon Kepala Daerah

Nasional
Tingkatkan Pelayanan, Pertamina Patra Niaga Integrasikan Sistem Per 1 Juni 2024

Tingkatkan Pelayanan, Pertamina Patra Niaga Integrasikan Sistem Per 1 Juni 2024

Nasional
Politik Belah Bambu, PDI-P Bantah Tudingan Projo yang Ingin Pisahkan Jokowi dan Prabowo

Politik Belah Bambu, PDI-P Bantah Tudingan Projo yang Ingin Pisahkan Jokowi dan Prabowo

Nasional
Narasi Anak Muda Maju Pilkada Usai Putusan MA Dianggap Cuma Pemanis

Narasi Anak Muda Maju Pilkada Usai Putusan MA Dianggap Cuma Pemanis

Nasional
Putusan MA Dianggap Pragmatisme Politik Jokowi demi Kaesang

Putusan MA Dianggap Pragmatisme Politik Jokowi demi Kaesang

Nasional
Prabowo Minta AS dan China Bijak supaya Tak Bawa Bencana

Prabowo Minta AS dan China Bijak supaya Tak Bawa Bencana

Nasional
Putusan MA Dianggap Semakin Menggerus Rasa Keadilan Masyarakat

Putusan MA Dianggap Semakin Menggerus Rasa Keadilan Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com