Memang pascaperistiwa 9/11 terror attack, Indonesia juga tidak luput dari gegap gempita antiterorisme yang digelorakan oleh Paman Sam, disertai beberapa aksi teroris yang menyertainya.
Namun demikian, tidak seperti di Amerika Serikat, di Indonesia polisi mendapat porsi peran yang jauh lebih besar dibanding TNI.
Anggaran institusi Polri mendadak menjadi jumbo, baik dari kocek pemerintah sendiri maupun anggaran bantuan dari Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lainnya di bawah tajuk anggaran pemberantasan dan penanggulangan bencana terorisme.
Hal tersebut seiring dengan penambahan sayap-sayap institusional baru di tubuh Polri di satu sisi dan preferensi politik penguasa sipil atas institusi Polri di sisi lain, terutama sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian berlanjut hingga ke era Presiden Joko Widodo.
Karena itu, secara teknis memang cukup bisa dipahami mengapa institusi TNI merasa agak sedikit tertinggal di belakang secara fiskal, yang kemudian sempat muncul usulan untuk menambah jumlah Komando Daerah Militer (Kodam) sesuai dengan jumlah provinsi yang ada.
Soal anggaran ini memang agak sensitif. Secara agregat, banyak yang melihat secara kasat mata bahwa nominal anggaran pertahanan lebih besar dibanding anggaran Polri.
Namun secara teknis operasional, anggaran pertahanan harus dibagi dengan tiga matra TNI (AD, AL, AU) di satu sisi dan dengan Kementerian Pertahanan di sisi lain.
Jadi dari sisi fiskal, setelah TNI berupaya sedemikian rupa dalam menjaga profesionalismenya, menjaga marwah reformasi dan berusaha senyaman mungkin berdampingan dengan institusi Polri, pemerintah selayaknya mulai mempertimbangkan, atau lebih tepatnya mengapresiasi institusi TNI dari sisi anggaran.
Anggaran tersebut semestinya tidak saja untuk meningkatkan pembelian aneka rupa Alutsista (alat utama sistem senjata) berkelas dunia, yang memang membutuhkan angka besar, tapi juga terkait dengan upaya nyata pemerintah dalam menyejahterakan personel TNI dari level terbawah, tidak saja hanya dari level menengah ke atas.
Dengan kata lain, persoalan kesejahteraan personel TNI tidak saja terkait dengan nominal penghasilan mereka, tapi juga terkait dengan akses personal TNI beserta keluarganya kepada bahan makanan pokok yang memenuhi standar kalori sehat, akses kepada perumahan yang layak, akses dan kemudahan dalam memiliki alat transportasi memadai, akses dan kemudahan anak-anak mereka dalam mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan, dan banyak lainnya.
Pun dari sisi tunjangan kinerja yang semestinya dihitung secara kontekstual, bukan dihitung secara rata-rata nasional.
Artinya, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antarberbagai daerah, terutama soal tingkat kelayakan biaya hidup. Karena itu, faktor ini juga harus dihitung dalam pemberian tunjangan kinerja personel TNI.
Hal ini perlu dibahas secara umum karena imbas dari pemisahan peran TNI dan Polri yang diikuti kemudian pengutamaan dan preferensi kepada institusi Polri oleh dua presiden terakhir cukup terasa dari sisi kesejahteraan personel di kedua institusi.
Memprioritaskan salah satu institusi berimbas kepada pembesaran wewenang dan perluasan jangkauan kinerjanya, yang secara teknis bergerak secara berlawanan dengan yang dialami oleh institusi TNI, yakni penyempitan peran dan pengecilan berbagai peluang kesejahteraan.
Karena itu, pemerintah sebaiknya mulai mencari cara untuk mengapresiasi TNI atas konsistensinya dalam menjalankan peran barunya pascareformasi, agar konsistensi tersebut semakin kokoh dan mendarah daging di dalam nadi institusi dan personel TNI.