Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Husen Mony
Dosen

Mengajar Komunikasi Politik & Jurnalistik/Penulis

Menjelaskan Wajah Politik Kita

Kompas.com - 28/06/2023, 14:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POLITIK dalam posisi idealnya adalah seni berstrategi untuk mempersembahkan peradaban yang lebih baik kepada publik. Dalam konteks ini, ia muncul dalam laku-laku yang penuh dengan keadaban, baik dilihat secara teoritis maupun praktisnya.

Tentu saja, politik semacam ini mengharapkan aktor-aktor yang sudah selesai dengan dirinya, negarawan, atau para cerdik pandai yang penuh kearifan.

Pada posisinya seperti demikian, politik adalah mimpi-mimpi utopis para pemikir dulu, dari mulai Pra-Soekrates, Soekrates, Aristoteles, Hobbes, Plato, hingga pemikir modern.

Termasuk itu juga yang dibayangkan oleh pemikir Indonesia pada zaman pra-kemerdekaan dan pascakemerdekaan dulu, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan lainnya.

Namun, dalam laku praktisnya, politik biasanya muncul seperti yang dipahami oleh Harold D. Laswell, berkaitan dengan “siapa, mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya”.

Definisi ini bertemu dengan naluri hewani manusia yang kerap ingin berkuasa dan menguasai lawannya, bagaimana pun caranya.

Maka yang terlihat dalam panggung politik praktis, di belahan dunia manapun, adalah panggung di mana para aktor mempertontonkan cara dan strateginya memperoleh kekuasaan. Itu pula yang sering, sedang, dan akan selalu mewarnai realitas politik di Indonesia.

Politik semacam ini menjadi lumrah dan dipraktikkan dalam setiap perilaku dan interaksi para politisi. Katakanlah saat pemilu, kontestasi memperebutkan ketua umum partai, dinamika di lembaga legislatif, bahkan dalam interaksi mereka dengan publik.

Secara komunikasi politik, realitas politik praktis kita disesaki dengan berbagai pesan dan perilaku mengancam, menghasut, menghina, menyebarkan fitnah, victimisasi, blaming, kriminalisasi, dan lain-lain.

Konteks aktual

Mari kita amati apa yang terjadi di dalam partai-partai politik. Bayangkan, institusi demokrasi yang memiliki peran strategis dan ideal dalam masyarakat, bangsa, dan negara, dikelola seperti perusahaan keluarga.

Ada partai di mana bapak dan anak-anaknya adalah pemimpin partai. Ada juga yang ibu sama anak-anaknya sebagai pemimpin partai. Ini tidak hanya terjadi di satu partai, sebagian besar partai politik di Indonesia terlihat demikian.

Pola kepemimpinan partai dengan sistem patrenalisme semacam ini, untuk mendapatkan legitimasinya, dibuatlah AD-ART partai yang sejalan dengan itu.

Tak ayal, sistem partai ini melahirkan politisi “barisan sakit hati” yang kemudian membuat partai baru atau berupaya merebut “partainya” kembali dengan berbagai cara.

Argumentasi yang mengemuka ke publik adalah seolah mereka sedang memperjuangkan politik ideal yang penuh keadaban. Nyatanya, mereka sedang dalam antrean pencarian kekuasaan juga.

Di daerah-daerah, para gubernur, bupati, dan kepala daerah berlomba memajukan keluarganya dalam tahta kepemimpinan.

Setelah bapaknya selesai masa periode kepemimpinan, giliran istrinya, anaknya atau saudara terdekatnya yang dimajukan.

Soal apakah mereka memenuhi kualitas menjadi seorang pemimpin, itu urusan lain. Tak ayal, di banyak daerah lahir berbagai dinasti politik dengan harta dan kekuasaan berlimpah.

Untuk mengondisikan masyarakat yang gerah akan perilaku politik mereka, para gubernur, bupati, atau wali kota tersebut akan mengancam, mengkriminalisasi (dengan pasal-pasal karet atau haatzaai artikelen), memfitnah, dan upaya-upaya lainnya, bahkan sampai ke pembunuhan.

Tak ubahnya di partai dan kepemimpinan politik, di legislatif juga menunjukan wajah serupa. Fungsi-fungsi yang melekat padanya seperti budgeting, legislasi, dan controlling, tidak dijalankan secara baik.

Alih-alih budgeting diperuntukan buat rakyat, kenyataannya banyak yang diselewengkan.

Para politisi di DPR dan DPRD banyak yang terlibat dalam korupsi proyek-proyek nasional maupun lokal. Modusnya entah dengan mempreteli APBN dan APBD atau sukses fee karena mereka berhasil “mengawal” anggaran-anggaran ke daerah, seperti DAK (Dana Alokasi Khusus), DAU (Dana Alokasi Umum), anggaran Otsus, dan sebagainya.

Fungsi kontrol, terutama terhadap kerja-kerja eksekutif terkait dengan penggunaan anggaran negara, alih-alih dijalankan secara penuh tanggung jawab, yang terlihat mereka saling terlibat main mata dengan eksekutif.

Tujuannya tentu saja, saling bisa dapat untung dalam anggaran tersebut. Dana bansos di Kementerian Sosial, anggaran BTS di Kominfo, suap ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan lain sebagainya. Tidak tanggung-tanggung, nilai korupsi mencapai ratusan miliar rupiah, bahkan triliunan rupiah.

Semakin hari menjelang waktu pencapresan, wajah realitas politik kita makin menunjukan ironi. Berbagai upaya dan strategi politik dilakukan oleh politisi dan para aktor politik lainnya, dalam wujud kontestasi yang saling menjegal, saling menjatuhkan, saling menggembosi, mengkambinghitamkan, mengkriminalkan, memfitnah, dan sebagainya.

Dari negeri antah-berantah, seorang yang sejatinya intelektual dan penegak hukum menyerang secara membabi buta pihak lain (partai, institusi penegak hukum, dan pemerintah) dengan menyajikan data-data asumtif berbasis opini personal semata.

Serangan yang diarahkan kemana-mana tersebut lebih terkesan menggunakan ilmu “cocokologi”. Kelompok koalisi tertentu menyerang pihak lain sedang berupaya menjegal bacawapres yang mereka usung.

Dari mulut kekuasaan, keluar pernyataan terkait keinginannya dalam “cawe-cawe” menentukan pemimpin Indonesia selanjutnya.

Meski dijelaskan kemudian bahwa cawe-cawe itu untuk kepentingan bangsa dan negara, tetap saja kita melihat adanya upaya mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran tunggal.

Seolah-olah, kekuasaan ingin mengatakan bahwa kebaikan bangsa dan negara ke depan hanya bisa ditentukan olehnya.

Maka yang terlihat kemudian adalah laku banal kekuasaan yang meng-endorse berbagai elite untuk menjadi penggantinya, dan pada saat bersamaan seolah-olah menegasikan keberadaan calon-calon lain.

Rakyat terbelah

Ekses dari wajah politik kita itu adalah membawa rakyat pada posisi terbelah menjadi dua kubu, yang saling berlawan.

Tersebutlah mereka adalah kubu Cebong dan kubu Kampret. Masing-masing pihak dari kedua kubu tersebut berlomba dalam tarian pengkultusan atas idola (mereka mengkultuskan para elit politik tertentu, parpol tertentu, dan bacawapresnya).

Pada saat bersamaan, mereka tidak hanya tidak suka, bahkan muncul ekspresi-ekspresi kemarahan pada elite politik tertentu, parpol tertentu, dan juga bacawapres tertentu.

Ketidaksukaan yang cenderung mengemuka dalam ekspresi kemarahan tersebut, tidak hanya terarah secara vertical (ke kekuasaan), tetapi juga menjalar secara horizontal (ke sesama rakyat).

Kita akan dengan mudah menemukan berbagai ekspresi kemarahan tersebut (baik vertical maupun horizontal) melalui fyp Tiktok, trending Twitter, hastag atau postingan Instagram, status Facebook, dan podcast-podcast di Youtube.

Bagaimana dengan para elite politik, apakah mereka juga dalam keterbelahan yang sama seperti rakyat hari ini? Jawabannya tentu saja tidak.

Ini semua hanyalah strategi politik masing-masing untuk memperoleh kekuasaan. Meski nampak secara luar mereka sedang “bermusuhan”, di belakang panggung mereka bermesraan.

Laku politik mereka hanya permainan dalam merebut hati rakyat sehingga mereka dapat memperoleh dukungan meraih kekuasaan.

Pada akhirnya, dalam politik tidak pernah ada istilah saling bermusuhan, - meski juga tidak ada perkawanan sejati, - yang pasti selalu dituju adalah kepentingan bersama yang sementera.

Buktinya, pada kasus-kasus korupsi di DPR, pelaku-pelakunya seringnya bukan hanya berbaju satu warna, tetapi beragam warna partai.

Untuk itu, sebagai rakyat, mestinya menyambut pesta demokrasi (pada level apapun) dengan riang gembira dan bukan dengan amarah, apalagi menyemburkan amarah tersebut terhadap sesama.

Sebab, sejatinya realitas politik praktis kita hanyalah permainan elite politik dalam mencapai kekuasaan untuk kepentingan mereka semata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKB Bilang Anies Tak Dapat Keistimewaan, Harus Ikut Uji Kelayakan Jika Ingin Tiket Pilkada

PKB Bilang Anies Tak Dapat Keistimewaan, Harus Ikut Uji Kelayakan Jika Ingin Tiket Pilkada

Nasional
Riset yang Didanai BPDPKS Diyakini Jadi “Problem Solving” Industri Sawit

Riset yang Didanai BPDPKS Diyakini Jadi “Problem Solving” Industri Sawit

Nasional
PAN DKI Ingin Duetkan Anak Zulhas dan Jokowi pada Pilkada Jakarta 2024

PAN DKI Ingin Duetkan Anak Zulhas dan Jokowi pada Pilkada Jakarta 2024

Nasional
Biodiesel Berbasis Sawit Jadi Komoditas Unggulan Ekspor Indonesia

Biodiesel Berbasis Sawit Jadi Komoditas Unggulan Ekspor Indonesia

Nasional
Bicara Pilkada Sumbar 2024, Zulhas: PAN Calon Gubernurnya, Wakil dari Gerindra

Bicara Pilkada Sumbar 2024, Zulhas: PAN Calon Gubernurnya, Wakil dari Gerindra

Nasional
Sejahterakan Pekebun, BPDPKS Dukung Kenaikan Pendanaan Program Peremajaan Sawit Rakyat

Sejahterakan Pekebun, BPDPKS Dukung Kenaikan Pendanaan Program Peremajaan Sawit Rakyat

Nasional
Miliki Manfaat yang Luas, Minyak Kelapa Sawit Disebut Paling Potensial untuk Diolah Jadi Energi

Miliki Manfaat yang Luas, Minyak Kelapa Sawit Disebut Paling Potensial untuk Diolah Jadi Energi

Nasional
Pegawai Pajak Yulmanizar Divonis 4 Tahun Penjara, Terbukti Terima Suap Rp 17,9 Miliar

Pegawai Pajak Yulmanizar Divonis 4 Tahun Penjara, Terbukti Terima Suap Rp 17,9 Miliar

Nasional
PAN Yakin IKN Tetap Lanjut meski Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur

PAN Yakin IKN Tetap Lanjut meski Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur

Nasional
Tingkat Kemiskinan Ekstrem di 6 Provinsi Papua Masih Tinggi

Tingkat Kemiskinan Ekstrem di 6 Provinsi Papua Masih Tinggi

Nasional
Kasus 109 Ton Emas Antam, Kejagung: Emasnya Asli, tapi Perolehannya Ilegal

Kasus 109 Ton Emas Antam, Kejagung: Emasnya Asli, tapi Perolehannya Ilegal

Nasional
35 Bakal Calon Kepala Daerah Dapat Rekomendasi PKB, Ini Daftarnya

35 Bakal Calon Kepala Daerah Dapat Rekomendasi PKB, Ini Daftarnya

Nasional
Pemerintah Targetkan Kemiskinan Ekstrem Kurang dari 1 Persen di Akhir Kepemimpinan Jokowi

Pemerintah Targetkan Kemiskinan Ekstrem Kurang dari 1 Persen di Akhir Kepemimpinan Jokowi

Nasional
PKB Klaim Kian Banyak Relawan Dorong Kiai Marzuki di Pilkada Jatim

PKB Klaim Kian Banyak Relawan Dorong Kiai Marzuki di Pilkada Jatim

Nasional
Menpora Ungkap Pertemuan Prabowo-Ridwan Kamil Bahas Pilkada Jabar

Menpora Ungkap Pertemuan Prabowo-Ridwan Kamil Bahas Pilkada Jabar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com