JAKARTA, KOMPAS.com - Ketentuan terkait penahanan terhadap seorang pelaku tindak pidana yang mengajukan banding atas putusan hakim pada Pengadilan Negeri (PN) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 193 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, "Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu".
Pemohon uji materi adalah Zain Amru Ritonga.
Victor Dedy Sukma, selaku kuasa hukum Zain, menjelaskan, permohonan ini diajukan karena ketentuan tersebut berpotensi merugikan hak konstitusi kliennya.
Secara umum, merugikan seluruh warga negara.
Secara konkret, kata Victor, hal ini menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok).
Saat ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penodaan agama, Ahok tidak ditahan oleh polisi.
Namun, usai vonis dibacakan, hakim PN Jakarta Utara memerintahkan dilakukan penahanan terhadap Ahok.
Padahal, saat itu jaksa menyatakan banding.
"Kami bukan dari tim sahabat atau Teman Ahok, tapi kami dari organisasi advokat muda yang prihatin dengan penerapan pasal 193 ayat 2 huruf a yang ternyata juga dialami oleh Ahok yang sebagai warga negara punya kedudukan hak konstitusional. Dan kami pun juga merasa berpotensi menimpa kami," kata Victor, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (5/7/2017).
"Ketika kami bertindak sebagai warga negara, ketika kami nanti punya sengketa hukum pribadi, bisa saja hal tersebut menimpa kami. Potensi ini lah yang kami uji ke MK," tambah Victor.
Menurut Victor, hakim pengadilan negeri tidak memiliki kapasitas memerintahkan agar dilakukan penahanan terhadap seseorang yang telah dijatuhi vonis namun mengajukan banding, baik banding itu diajukan oleh terdakwa atau pun pihak Jaksa.
Sebab, selain karena perkaranya belum berkekuatan hukum tetap, perkara tersebut bukan lagi menjadi kewenangan hakim PN, melainkan menjadi kewenangan hakim pada Pengadilan Tinggi.
"Semestinya ketika belum punya kekuatan hukum tetap, hakim baik di Pengadilan Negeri tidak boleh melakukan penahanan karena kewenangannya sudah beralih ke Pengadilan Tinggi," kata Victor.
Victor menilai, kata "dapat" pada aturan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga negara.
Sebab, memberi celah bagi hakim dalam memerintahkan penahanan didasari alasan subjektif.
Sementara, jika dikatakan bahwa penahanan dilakukan sebagai upaya pencegahan agar terdakwa tidak melarikan diri, menurut Victor, alasan ini menjadi tidak logis.
Alasannya, negara memiliki perangkat hukum, yakni Kepolisian dan Imigrasi untuk mengantisipasi hal tersebut.
"Tinggal hakim perintahkan melakukan submit bahwa terdakwa untuk dilakukan pencekalan, seperti layaknya KPK (meminta Imigrasi untuk lakukan pencekalan) ," kata Victor.
Jika penahanan dilakukan untuk menghindari penghilangan barang bukti oleh pelaku, menurut Victor, alasan ini juga tidak masuk akal.
Sebab, penghilangan alat bukti tidak mungkin dilakukan pelaku.
Victor mengatakan, untuk menjerat pelaku hingga ke persidangan membutuhkan minimal dua alat bukti yang sudah dipegang oleh kepolisian.
"Bagaimana mungkin dia (pelaku/terdakwa) bisa menghancurkan barang bukti," kata Victor.
Oleh karena itu, kata Victor, pihaknya meminta MK menegaskan kembali ketentuan pada pasal Pasal 193 ayat 2 huruf a KUHAP.
Sidang uji materi yang digelar hari ini merupakan sidang perbaikan permohonan. Adapun uji materi teregistrasi dengan nomor perkara 30/PUU-XV/2017.