Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Jalan Rekonsiliatif

Kompas.com - 16/05/2017, 11:51 WIB

Keriuhan ulang alik di ruang daring dan ruang luring terkait vonis terhadap Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama masih belum juga mereda.

Polemik yang melelahkan dan menguras energi bangsa. Namun, hingga kini, masih belum muncul jalan ketiga di luar jalur hitam-putih, pro dan kontra yang seolah menjadi tarikan kutub magnet yang begitu kuat.

Begitu muncul gerakan mendukung Basuki yang divonis 2 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara karena perkara penodaan agama, segera muncul gerakan "perlawanan".

Hal ini terjadi, baik di dunia daring maupun di dunia luring. Tanda pagar (tagar) di Twitter dilawan dengan tanda pagar yang berlawanan.

Di layanan petisi daring, Change.org, hingga Minggu (14/5) belum muncul "narasi" rekonsiliatif yang mencoba memoderasi kelompok yang pro dan kontra terhadap Basuki.

Direktur Komunikasi Change.org Indonesia Desmarita Murni menuturkan, petisi-petisi terkait vonis Basuki atau Ahok masih didominasi sikap pro dan kontra.

"Sejauh ini sepertinya kami belum menemukan (rekonsiliatif). Kalau dilihat dari platform kami, masih sikap pro dan kontra," kata Desmarita.

Berdasarkan data Change.org, awal Mei lalu, alumnus Universitas Harvard memulai petisi "Ahok Tidak Menista Agama" yang hingga 15 Mei sudah didukung sekitar 96.000 pengguna internet.

Hanya berselang beberapa hari, muncul petisi tandingan yang dimulai Ahmad Akhyar yang berjudul "Penjarakan Ahok Tanpa Masa Percobaan" yang hingga 15 Mei sudah didukung sekitar 49.000 pengguna internet.

Data dari Change.org, sejak beberapa bulan terakhir hingga 11 Mei lalu, setidaknya ada 10 petisi pro-Basuki yang diinisiasi di Change.org dengan jumlah penandatangan 193.768 pengguna internet.

Sementara petisi yang kontra Basuki ada delapan petisi yang dominan dengan dukungan total 365.746 pengguna internet.

Selain itu, juga ada tiga petisi dominan untuk mendorong proses hukum terhadap Buni Yani yang penandatangannya mencapai 170.311 pengguna internet.

Polda Metro Jaya menetapkan Buni Yani sebagai tersangka pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA setelah mengunggah ulang video pidato Basuki di Kepulauan Seribu.

"Sikap pro dan kontra ini kami nilai wajar sepanjang disampaikan dengan damai. Platform kami terbuka untuk perbedaan pendapat. Kami sebagai pengelola hanya memastikan kedua belah pihak menyampaikan pandangan dalam jalur-jalur sesuai ketentuan layanan," ucapnya.

Berbahaya

Dalam jangka panjang, ketiadaan narasi moderasi sebenarnya bisa berbahaya. Ini karena pendukung kubu pro dan kontra sama-sama memperkuat identitas kelompoknya dengan menggunakan baju identitas berbeda yang kemudian lalu dipertentangkan.

Pengguna internet yang membicarakan isu vonis Basuki di dunia maya akhirnya seolah hanya punya dua jalan, jalan pro dan jalan kontra.

Dikotomi ini diperkuat dengan penyebaran informasi yang memperkuat keyakinan masing-masing.

Tiap pendukung seolah menunggu pihak "seberang" berbuat kesalahan untuk dijadikan basis argumentasi bahwa "kami" benar dan "kamu" salah atau "kamu" perusak dan "kami" yang konstruktif.

Padahal, sebenarnya, identitas-identitas yang digunakan bisa beririsan dan tak perlu dipertentangkan.

Pengajar budaya siber di Departemen Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya, Rendy Pahrun Wadipalapa, menuturkan, dikotomi di ranah daring dan luring yang muncul bisa secara gegabah dimaknai masyarakat sebagai dua kelompok dengan basis identitas berbeda.

Menurut dia, dikotomi itu tidak tepat karena identitas itu saling beririsan. Sejumlah kategori identitas bisa melekat dalam diri seseorang atau kelompok.

Terkait dengan tidak munculnya "jalan" ketiga yang bisa memoderasi dua kutub pro dan kontra, Rendy menilai, hal itu disebabkan adanya kehati-hatian karena isu dalam perkara Basuki ini tersangkut dengan agama.

Padahal, kehadiran jalan ketiga oleh masyarakat yang bisa menjembatani perbedaan pandangan itu sangat penting secara ideologis karena bisa menjaga jarak dari bias politik dalam melihat konflik itu.

Kehadiran jalan ketiga ini menjadi penting karena masyarakat memerlukan "teladan" di tengah fragmentasi sosial yang menguat.

Bisakah jalan ketiga, yaitu jalan rekonsiliatif, itu muncul? Semoga.... (Antony Lee)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com