JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini pada tujuh tahun lalu, 30 Desember 2009, Indonesia berduka. Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, meninggal dunia pada usia 69 tahun.
Gus Dur tutup usia pada pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangkusumo, Jakarta. Kabar duka ini pertama kali disampaikan Ketua Tim Dokter, Yusuf Misbah, yang merawat Gus Dur sejak 26 Desember 2009 di RSCM.
Dikutip dari arsip Kompas, Gus Dur masuk rumah sakit akibat kesehatannya yang terus menurun setelah melakukan ziarah ke makam sejumlah ulama di Jawa Timur.
Menurut Yusuf, kondisi Gus Dur sempat membaik selama perawatan. Namun pada Rabu, 30 Desember itu, sekitar pukul 11.30 WIB kesehatan Gus Dur mendadak memburuk.
Kondisi ini disebabkan komplikasi penyakit yang dideritanya selama ini, yaitu ginjal, diabetes, stroke, dan jantung.
Gus Dur kemudian dinyatakan kritis pada pukul 18.15 WIB, hingga kemudian dinyatakan wafat pada 18.45 WIB.
Meninggalnya Gus Dur menjadi kabar duka cita bagi Indonesia. Pernyataan duka ini disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga didampingi Wapres Boediono.
SBY menyampaikan dukacita mendalam atas nama negara, pemerintah, dan pribadi atas meninggalnya Gus Dur. SBY juga meminta masyarakat mengibarkan bendera setengah tiang selama sepekan sebagai bentuk penghormatan dan berkabung.
Dari NU menuju Istana
Pria yang lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil ini merupakan cucu dari pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim Asyari, dan putra dari Menteri Agama di era Presiden Soekarno, Wahid Hasyim.
Gus Dur pun mewariskan ajaran kakek dan ayahnya, bahkan menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama pada 1984.
Selama memimpin NU, Gus Dur menghadirkan ajaran Islam yang moderat dan mendukung Pancasila. Pemikiran itu tentu disukai pemerintahan Presiden Soeharto, apalagi saat itu muncul gerakan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal.
Namun di sisi lain, Gus Dur juga kerap menyuarakan demokrasi dan melakukan kritik terhadap Soeharto. Kritik terhadap Soeharto itu yang membuat Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang ikut andil dalam gerakan reformasi pada 1998.
Setelah Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, Gus Dur menjadi salah satu tokoh yang mengawal transisi dari Orde Baru ke era reformasi, bersama tokoh lain seperti Amien Rais dan Megawati Soekarnoputri.
Di era reformasi, Gus Dur kemudian membentuk Partai Kebangkitan Bangsa yang kelak mengantarnya terpilih menjadi presiden pada 1999.
Terpilihnya Gus Dur juga tidak lepas dari peran Amien Rais yang membentuk Poros Tengah. Pada pemilihan di Sidang Umum MPR, Gus Dur menjadi presiden dengan mengalahkan Megawati Soekarnoputri.
Selama menjadi presiden, Gus Dur berusaha menjaga stabilitas keamanan di Indonesia pasca-jatuhnya Orde Baru. Saat itu, sejumlah konflik horizontal terjadi, antara lain di Maluku dan Sampit.
Gus Dur juga melakukan sejumlah perubahan kultural di Indonesia, salah satunya dengan menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional.
Namun, langkah politik Gus Dur sebagai presiden dinilai kontroversial. Dia diketahui melakukan sejumlah pergantian menteri secara mendadak dan oleh sebagian kalangan dianggap tanpa alasan jelas.
Hubungan dengan legislatif pun dinilai tidak baik, terutama saat Gus Dur menyebut anggota DPR seperti anak TK.
Kondisi pemerintahan Gus Dur semakin memburuk, terutama setelah munculnya skandal Buloggate dan Bruneigate. Kasus itu kemudian bergulir di DPR dengan pembentukan panitia khusus.
Gus Dur tidak pernah diputuskan bersalah oleh pengadilan dalam kasus Buloggate atau Bruneigate. (Baca juga: Buloggate Tak Bakal "Ganjal" Gus Dur Jadi Pahlawan)
Namun, kasus itu selama ini dianggap menjadi pintu masuk untuk pemakzulannya. Hingga kemudian, jabatan Gus Dur sebagai presiden dicopot dalam Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Gus Dur digantikan oleh Megawati, yang sebelumnya menjabat wapres.
Tokoh toleran
Terlepas dari sosoknya yang kontroversial, Gus Dur dinilai banyak orang telah mewariskan semangat persatuan dalam keragaman.
Selama ini Gus Dur memang dikenal sebagai tokoh yang mengedepankan toleransi dan kerukunan antarumat beragama. (Baca: Merindukan Toleransi Gus Dur)
Pemikiran Gus Dur tentang toleransi pun semakin dirindukan, terutama dalam kondisi maraknya penyebaran ujaran kebencian berlandaskan perbedaan, seperti saat ini.
Hal ini pun diakui Presiden Joko Widodo. Jokowi mengenang Gus Dur sebagai tokoh yang mengingatkan bawa Indonesia merupakan milik bersama, bukan milik golongan atau perseorangan.
(Baca: Jokowi: Gus Dur Pasti "Geregetan" sama Kelompok yang Memaksakan Kehendak)
"Saya percaya, Gus Dur pasti gemes, geregetan, kalau melihat ada kelompok yang meremehkan konstitusi, mengabaikan kemajemukan, memaksakan kehendak, melakukan kekerasan, radikalisme dan terorisme," kata Jokowi saat memberikan sambutan di Haul Gus Dur ke-7 di Jakarta, Jumat (23/12/2016).