JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Siti Nurlaila mengatakan, kasus dugaan pelanggaran HAM pada lubang bekas tambang di Kalimantan Timur tidak pernah selesai melalui jalur hukum.
Dari hasil pemantauan Komnas HAM sejak 2011, sebanyak 27 orang meninggal akibat lubang tambang yang tidak dikelola oleh korporasi.
"Tewasnya korban tidak pernah selesai di jalur hukum. Jika ada hukuman yang dijatuhkan sangat ringan, hanya sembilan bulan. Kasus lainnya belum ada tindak lanjut," kata Siti, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (21/11/2016).
Menurut Siti, perusahaan tidak melengkapi lubang galian tambang dengan tanda atau batas pengaman.
Kondisi ini terjadi pada lubang tambang yang aktif maupun yang sudah ditinggalkan.
Berdasarkan data Komnas HAM, banyak kasus pelanggaran HAM yang belum selesai.
(Baca: Komnas HAM Catat 27 Orang Tewas di Lubang Tambang Batubara Kaltim)
Kasus itu antara lain, tiga orang anak, M, J, dan R yang tenggelam di lubang bekas tambang PT Hymco Coal, Samarinda.
Hingga saat ini, proses hukum terhadap kasus yang terjadi Juli 2011 itu tidak berjalan.
Pemerintah dan PT Hymco hanya memberikan uang "tali asih" sebesar Rp 15 juta.
Lainnya, pada 24 Desember 2014, ERD dan DR meninggal di lubang tambang PT Panca Prima Mining.
Pengadilan Negeri Samarinda pada Januari 2013 memberikan vonis dua bulan penjara dan denda Rp 1.000 kepada salah satu petugas lapangan perusahaan, Muhammad Yusuf Ambo Rape.
Keluarga mendapatkan uang "tali asih" sebesar Rp 100 juta, sedangkan direksi dan pengawas tambang Pemda tidak diproses hukum.
(Baca: Sudah 24 Orang Tewas di Lubang Tambang, Penuntasan Kasus Lambat)
Pada April 2014, NZ meninggal di lubang galian CV Cahaya Ramadhan saat bermain setelah pulang sekolah.
Pihak perusahaan tidak memberikan bantuan dengan alasan kesulitan keuangan dan Kepolisian tidak melakukan penyelidikan.
ABH meninggal dunia di lubang tambang bekas milik PT Cahaya Energi Mandiri pada Mei 2015.
Peristiwa itu telah dilaporkan ke kepolisian dan dilakukan visum, namun hingga kini belum ada tindak lanjut dari Polsek Samarinda Ilir.
"Lemahnya pembelaan dan penuntutan karena kerja banyak pihak yang tidak pernah selesai mulai dari kepolisian, perusahaan, Pemda, hingga kementerian," ujar Siti.
Siti menyebutkan, tidak adanya niat baik untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya tambang batubara kepada masa depan anak-anak Samarinda.
Menurut dia, hal itu menjadi penyebab kasus tersebut terus berulang hingga lima tahun ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.