Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kewajiban Iuran Anggota DPR Dinilai Jadi Penyebab Korupsi oleh Kader Partai

Kompas.com - 16/08/2016, 17:02 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menilai bahwa salah satu penyebab keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi itu tidak lepas dari faktor kewajiban mendanai partai politik yang mewadahinya.

Selama ini, keharusan iuran para kader ke partainya sudah menjadi mekanisme yang umum diterapkan.

"Itu ada di AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga) partai," ujar Almas dalam konferensi Pers "Evaluasi DPR: Integritas Menurun, Kepercayaan Publik Dicederai" di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (16/8/2016).

Ia menjelaskan, dalam AD/ART disebutkan bahwa anggota yang menjabat di lembaga pemerintahan atau parlemen harus membayar iuran dengan besaran tertentu seperti iuran wajib serta sumbangan untuk berbagai kegiatan.

"Baik di DPR, kepala daerah atau jabatan-jabatan strategis lainnya," kata dia.

Dengan sejumlah beban tersebut, lanjut dia, kemudian para kader yang duduk di parlemen atau di lembaga pemerintahan akhirnya berani mengambil tindakan melakukan korupsi.

"Misalnya Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS), saat menjabat anggota DPR kalau baca dalam putusannya dia setiap bulan harus membayar iuran kepada partai sebesar Rp 20 juta," kata dia.

"Kemarin sempat di media massa, bagaimana anggota DPR mengaku bahwa 50 persen dari gajinya dipotong untuk mendanai partai politiknya. Itu adalah suatu budaya uang, pendanaan partai politik dengan uang dan ini tidak menutup kemungkinan menjadi salah satu faktor kader di DPR kita melakukan korupsi," ujar Almas.

Menurut Almas, pembiayaan partai boleh saja dibebankan kepada para kader yang menempati jabatan di pemerintahan atau parlemen. Namun, besarannya tidak melebihi 10 persen dari gaji.

"Untuk di anggota DPR, atau jabatan pemerintah tidak lebih dari 10 persen," tutur dia.

Selain itu, pendanaan juga dapat ditopang oleh seluruh kader dengan mekanisme tertentu.

"Misalnya Rp 10 ribu perbulan untuk kader yang memiliki kartu anggota (partai)," kata dia.

Di sisi lain, kata Almas, pemerintah juga harus menambah besaran sumbangan dana kepada partai politik. Saat ini sumbangan pemerintah kepada partai di tingkat pusat sebesar Rp 108 per suara.

Menurut dia, angka ini banyak dikeluhkan oleh partai politik. Sehingga, mekanisme kewajiban iuran yang cukup besar pun diterapkan.

"ICW sedang meriset itu untuk mendapat angka rekomendasinya berapa. Tapi menurut kami disampaikan dengan bertahap, paling tidak bantuan negara meng-cover 30 persen dari kebutuhan partai setiap tahunnya," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi 'Online'

PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi "Online"

Nasional
4 Bandar Besar Judi 'Online' di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

4 Bandar Besar Judi "Online" di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

Nasional
Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Nasional
Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Nasional
Ketua RT di Kasus 'Vina Cirebon' Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Ketua RT di Kasus "Vina Cirebon" Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Nasional
Kongkalikong Pengadaan Truk, Eks Sestama Basarnas Jadi Tersangka

Kongkalikong Pengadaan Truk, Eks Sestama Basarnas Jadi Tersangka

Nasional
PKS Klaim Ridwan Kamil Ajak Berkoalisi di Pilkada Jabar

PKS Klaim Ridwan Kamil Ajak Berkoalisi di Pilkada Jabar

Nasional
Eks Pejabat Basarnas Pakai Uang Korupsi Rp 2,5 M untuk Beli Ikan Hias dan Kebutuhan Pribadi

Eks Pejabat Basarnas Pakai Uang Korupsi Rp 2,5 M untuk Beli Ikan Hias dan Kebutuhan Pribadi

Nasional
Penyerang PDN Minta Tebusan Rp 131 Miliar, Wamenkominfo: Kita Tidak Gampang Ditakut-takuti

Penyerang PDN Minta Tebusan Rp 131 Miliar, Wamenkominfo: Kita Tidak Gampang Ditakut-takuti

Nasional
Sebut Anggaran Pushidrosal Kecil, Luhut: Kalau Gini, Pemetaan Baru Selesai 120 Tahun

Sebut Anggaran Pushidrosal Kecil, Luhut: Kalau Gini, Pemetaan Baru Selesai 120 Tahun

Nasional
Kasus Korupsi Pembelian Truk Basarnas, KPK Sebut Negara Rugi Rp 20,4 Miliar

Kasus Korupsi Pembelian Truk Basarnas, KPK Sebut Negara Rugi Rp 20,4 Miliar

Nasional
PDI-P Sebut Hasto Masih Pimpin Rapat Internal Persiapan Pilkada 2024

PDI-P Sebut Hasto Masih Pimpin Rapat Internal Persiapan Pilkada 2024

Nasional
Bawas MA Bakal Periksa Majelis Hakim Gazalba Saleh jika Ada Indikasi Pelanggaran

Bawas MA Bakal Periksa Majelis Hakim Gazalba Saleh jika Ada Indikasi Pelanggaran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com