Aku punya pengalaman dua kali ketemu langsung dengan para pegiat demokrasi di ruang maya. Pertama, ketika memimpin diskusi dengan 28 perwakilan netizen mendiskusikan revisi RUU KPK.
Mereka menjadi warga nyata turun dari dunia maya dengan sangat terhormat menyampaikan gagasannya disaksikan lebih dari 200an kader utama Partai Demokrat dipimpin langsung SBY, sang ketua umum.
Hasilnya luar biasa. Fraksi Partai Demokrat di DPR RI langsung memfollow-up rekomendasi diskusi dengan para netizen itu: tolak revisi RUU KPK, karena tujuannya memperlemah KPK itu sendiri. Dan, berhasil !
Kedua, tadi malam 14/4/2016. 140 plus 10, persisnya 150 menit, aku bertemu dengan sembilan netizen di dunia maya yakni:
@imanbr @ezkisuyanto @danrem @imanlagi @pangeransiahaan @ndorokakung @IndahAriani @firrywahid @blangk_on. Mereka ini pegiat demokrasi yang slim dan efektif, yang bisa atur diri dalam 140 karakter huruf yang jadi kalimat tapi hasilnya bisa gubrak bin dashyat.
"Siap bung", kataku singkat ketika bung @imanbr mengontak saya untuk bertemu minggu lalu. "Kita sharing isu isu makro bernegara dengan Sekjend Partai Demokrat", katanya menjelaskan via WA. "Baku atur jo, kita ikut bro", kataku membalas cepat.
Cerewet vs Twitter
Aku teringat Omak (ibu) ku di Kisaran, Asahan (yang sekarang berkunjung ke Bandung, di rumah anak perempuanya yang tertua). Ibuku guru SD 010096 yang sudah pensiun lama sekali. Ia terkenal dengan sebutan ibu OREM, yang suka sekali dengan kata "cerewet".
"Ah kau, cerewet kali kau sama adikmu si Hinca itu", kata omak ku mengingatkan kakakku yang terus memarahi aku lantaran tak kunjung selesai mengerjakan PR ku.
Aku tanya omak apa artinya cerewet? Bagaimana kalau kata cerewet ditambah kata kali jadi "cerewet kali"? Omak tak langsung menjawabnya.
Selepas makan malam sehabis belajar dan kerjakan PR sebelum tidur, omak memanggil kami anak-anaknya, lalu mengucapkan kalimat; "Aku kurang paham kata-katamu anakku, karena kau paksakan bicara banyak sekali kata-kata dalam kecepatan yang tinggi sekali pula", katanya.
"Oh.. Itu artinya cerewet ya omak", kataku menyela. Ia tersenyum sambil memastikan kami naik ke peraduan istirahat sejenak menjemput energi baru untuk esok pagi.
"Jadi, twitter itu artinya cerewet, bahkan cerewet sekali," batinku, selepas bubaran dengan sembilan netizen. Cerewet itu hak asasi sekaligus pondasi demokrasi.
Teknologi telah memastikan cerewet sebagai oksigen demokrasi lebih simple dan sederhana. Cukup 140 karakter kata. Terima kasih teknologi. Ternyata omak ku hebat.
Narasi Kekuatan Demokrasi
Mendirikan stasiun televisi bisa hari ini selesai. Begitu juga radio, pun sama halnya dengan koran, secepat membuat panggung. Tapi, memastikan apa dan siapa yang tampil sebagai program acara, berita dan tontonan adalah hal lain, dan sulit sekali.
Narasi adalah kekuatan utama panggung demokrasi. Bukan gedung Rumah Sakit, dokter serta para medis dan BPJS lebih utama. Tak kalah utamanya adalah farmasinya; obatnya tersedia cukup dan terjamin kualitasnya.
Mulai dari tour de java sampai heboh kinerja partai di papua barat minggu lalu. Semua pertanyaan kujelaskan dengan bersahaja, persis dengan pola berpolitik kening tak berkerut.
"Kalau yang itu pertanyaannya jawabannya sederhana. Datang tak ganjil tak datang tak genap", kataku bercanda ala Batak membuat Ezky dkk tertawa, ketika membahas politik riuh gaduh soal sepakbola sampai dinamika politik 101 pilkada kloter kedua 2017.
"Kalau soal Hambalang, isu Ibu Ani capres 2019, soal tour de java...", lanjut Ezky ngejar terus. "Sudah gaharu cendana pula, sudah kau tahu masih bertanya pula", kataku lagi sambil menikmati tahu campur khas nusantara yang tersaji berjejer dengan sate dan kerupuk, sambil membetulkan ulos batak berbentuk syal yang tegantung di leher.
"Teknologi boleh modern, dialog boleh mengglobal, kearifan lokal tak boleh mati karena kearifan lokal itulah sang narasi", kataku lagi menambahkan.
"Partai Demokrat sangat peduli soal media sosial ini sebagai tools demokrasi modern yang berkeniscayaan. Dalam enam bulan ke depan semua kader di seluruh Indonesia akan terhubung menjadi network", kataku menjelaskan pertanyaan sahabat netizen. Kami siap seratus persen.
Etika di Demokrasi 140
"Jangan kuatir bung, saya terima sarannya agar dunia twitter dan facebook kita lebih santun. Etika politik kami itu bersih cerdas dan santun. Kalau ada yang (hampir) offside, mohon dimaklumi. Karakter individu", menjelaskan dengan senyum.
Sahabat netizen malam itu sangat cair dan kritis. Mungkin karena terbiasa dengan demokrasi 140 karakter, pertanyaan yang diajukan ke saya juga singkat padat dan cespleng.
"Terima kasih sahabat semua. Jika punya waktu luang sedikit, mengapa tak ikut kerja politik bersama Demokrat ke Mamuju, Sulbar, 19-21 april ini? Atau di political garden Partai Demokrat soon ya", aku mengajak para sahabat bersama membangun masyarakat, bangsa dan negara. "Memastikan narasi demokrasi tumbuh subur di negeri indah, INDONESIA RAYA".
#salamnonangnonang
@horasindonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.