JAKARTA, KOMPAS.com - Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla kembali diwarnai 'kegaduhan'. Perintah Presiden Joko Widodo kepada para menteri dan bawahannya untuk tidak berpolemik di ruang publik, seakan diabaikan.
Publik tentu masih ingat sindir-menyindir antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli tentang Blok Masela.
Belum lagi, kegaduhan antara Rizal dengan Menteri BUMN Rini Soemarno soal kereta cepat dan rencana PT Garuda Indonesia Tbk membeli pesawat Airbus A350.
Cerita soal kegaduhan internal kabinet rupanya tak juga berakhir. Kali ini, kegaduhan kabinet melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Juru Bicara Wapres Husain Abdullah.
Berawal dari surat Kalla
Awalnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengirimkan surat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, 22 Maret 2016.
Dalam surat itu, Kalla mengatakan, kebijakan Susi tentang moratorium, pelarangan transhipment (proses pemindahan muatan dari satu kapal ke kapal lainnya yang dilakukan di tengah laut), mengakibatkan ribuan nelayan besar, baik eks asing atau milik nasional, tidak dapat berlayar dan menangkap ikan.
Akibatnya, hasil produksi dan ekspor ikan sangat menurun.
Selain itu, terjadi pula pengangguran pekerja di kapal dan pabrik pengolahan serta cold storage. Kalla mencontohkan di Ambon, produksi hanya 30 persen dari kapasitas.
(Baca: Kata Jubir JK, Menteri Susi Tidak Jalankan Perintah Presiden)
Di Bitung, produksi Januari-Februari 2016 hanya sekitar 7 persen dari kapasitas terpasang. Bahkan di Tual, produksi berhenti sama sekali.
Seiring hal itu, terjadi penurunan ekspor secara drastis. Nilai ekspor ikan dan udang di Maluku menurun dari 90,10 juta dollar AS pada tahun 2014 menjadi 3,75 juta dollar AS pada tahun 2015. Dampak lanjutannya, angka kemiskinan dan pengangguran di Maluku meningkat.
"Semua informasi yang dihimpun Pak JK berdasarkan fakta lapangan dan informasi dari tangan pertama saat kunjungan ke Banda, Tual, dan Bitung, termasuk peningkatan angka kemiskinan di Maluku dan Sulut, sumbernya dari gubernur setempat," kata Juru Bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla, Husain Abdullah, kepada Kompas.com.
Selanjutnya: Menjadi polemik
Menjadi polemik
Susi terang-terangan membantahnya. Menurut dia, situasi itu sudah lama terjadi. Selama ini, banyak unit pengolahan ikan (UPI) didirikan, khususnya di Bitung, hanya sebagai pelengkap untuk mendapatkan izin penangkapan ikan.
"Jadi, dulu itu untuk mendapatkan izin kapal menangkap ikan di Indonesia, pihak asing harus bikin UPI sehingga banyak UPI yang sebetulnya bukan dibangun untuk dioperasikan. Banyak UPI sudah jadi dan bertahun-tahun juga tidak operasi karena tujuannya bukan untuk pengolahan," ucap Susi.
Lagipula, seluruh kebijakan yang diambilnya selalu didiskusikan dengan Presiden Jokowi. Pernyataan Susi dijawab dan pada akhirnya menjadi polemik. Namun, bukan oleh Kalla langsung, melainkan kembali melalui sang juru bicara, Hussain Abdullah.
(Baca: Jubir JK Beberkan Pertemuan Segitiga antara Presiden, Wapres, dan Susi)
Menurut Hussain, surat yang disampaikan Kalla tersebut justru merupakan permintaan Jokowi sendiri. Jokowi meminta Kalla memberitahukan Susi untuk mengevaluasi sejumlah kebijakannya.
"Ibu Susi perlu segera move on dan melaksanakan perintah Presiden Jokowi sesuai hasil pertemuan segitiga antara Presiden, Wapres dan Ibu Susi tanggal 21 Maret di Istana Negara," ujar Hussain.
"Pada kesempatan ini, ternyata Pak Jokowi menyampaikan kepada Pak JK bahwa dirinya sudah berulang kali meminta Ibu Susi mengevaluasi kebijakannya. Namun tidak dilakukan oleh Susi," lanjut dia.
Kata Presiden kepada Kalla, nelayan banyak yang mengeluh atas kebijakan Susi. Dalam pertemuan itu, lanjut Hussain, terungkap pula bahwa Susi tidak pernah datang ke Bitung melihat industri perikanan yang mati suri.
(Baca: Ditegur Wapres, Susi Tegaskan Kebijakannya Selalu Didiskusikan dengan Presiden )
Presiden dan Wapres pun, kata Hussain, meminta Susi untuk turun langsung ke lapangan melihat persoalan yang dihadapi nelayan.
"Pak JK berusaha mengajak Ibu Susi lebih arif melihat kondisi saat ini bahwa 80 persen APBN Indonesia bertumpu pada pajak. Kalau industri perikanan yang potensial menghasilkan pajak tidak berproduksi, maka penerimaan negara akan berkurang," ujar Hussain.
"Karena itu sangat penting mencari solusi cepat atas masalah yang dihadapi industri perikanan saat ini," lanjut dia.
Selanjutnya: Belum pernah terjadi
Belum pernah terjadi
Pernyataan Hussain, dinilai pengamat politik LIPI Siti Zuhro mengejutkan. Kata-kata sekeras itu dianggap tidak laik diungkapkan oleh seorang juru bicara.
"Enggak pernah terjadi tuh dalam sejarah reformasi ada Jubir Wapres ribut-ribut mengingatkan menteri seperti itu," ujar Siti.
Apalagi, Presiden sudah mewanti-wanti anak buahnya untuk tidak berpolemik di ruang publik. Sebab, perselisihan semacam itu memang tidak pantas untuk menjadi konsumsi khalayak. Perselisihan itu cukup disampaikan di dalam rapat terbatas.
Lagipula, menurut Siti, Kalla tidak mungkin kesulitan berkomunikasi langsung dengan Susi. Toh, Susi juga anak buah Kalla.
(Baca: Rokhmin Dahuri Sudah Duga Kebijakan Susi Bakal Berujung Seperti Ini)
"Sama saja waktu Pak JK menelepon Sri Mulyani soal Century. Apa tidak bisa seperti itu saja? Kalau seperti sekarang, disampaikan oleh Jubir, ini model baru namanya," ujar Siti.
Pengamat politik LIPI lainnya, Ikrar Nusa Bakti senada dengan Siti. Menurut dia, perintah Presiden agar kabinet kerja jangan gaduh telah diabaikan.
"Bikin saja sidang kabinet terbatas, selesai. Masa kasus Hambalang ada rapat terbatasnya, Blok Masela ada rapat terbatasnya, ya kenapa enggak sekalian bikin rapat terbatas persoalan antara Susi, JK dan Presiden ini," ujar Ikrar.
Ikrar tidak membela Susi. Namun juga tidak membenarkan aksi Hussain. Menurut dia, memang banyak kebijakan Susi yang positif, namun juga ada beberapa yang membutuhkan evaluasi.
Sementara, pernyataan Hussain boleh jadi menimbulkan persepsi ada kepentingan tertentu yang terganggu sehingga dia berbicara sekeras itu di ruang publik.
"Jangan sampailan pemerintah kita diombang-ambing oleh kepentingan-kepentingan yang berbeda satu sama lain," ujar Ikrar.