Dengan surat itu, Soeharto menjalankan aksi beruntun pada 12 Maret 1966 dengan membubarkan PKI, menangkap 15 menteri yang dianggap pendukung PKI atau pendukung Soekarno, dan memulangkan anggota Tjakrabirawa ke kesatuan di daerah asalnya.
Dalam buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno yang ditulis Asvin Warman Adam, diperkirakan ada sekitar 4.000 anggota pasukan yang dipulangkan ke kesatuan di daerah asalnya. Tjakrabirawa adalah pasukan pengamanan yang loyal kepada Presiden.
Tak berselang lama, Soeharto juga mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat.
Serangkaian langkah yang diambil Soeharto itu membuat Soekarno marah, khususnya dengan pembubaran PKI. Meski demikian, isu pembubaran PKI adalah salah satu penyebab merosotnya dukungan politik untuk Soekarno.
Mengapa Soekarno tidak mau membubarkan PKI? Sebab, Soekarno ingin memegang teguh ajaran three in one-nya, yaitu Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme).
Soekarno konsisten sejak 1925 tentang Nasakom. Dalam sebuah pidato, ia menegaskan bahwa "kom" tersebut bukanlah komunisme dalam pengertian sempit, melainkan marxisme atau tepatnya sosialisme.
Dalam kesempatan lain, Soekarno mensinyalir bahwa revolusi Indonesia telah dibelokkan ke kanan. Padahal, menurut dia, revolusi Indonesia itu pada intinya adalah kiri. Meskipun demikian, Soekarno bersaksi, "Saya bukan komunis."
Terkait kasus 1965, Soekarno mengetahui bahwa ada oknum PKI yang bersalah. Namun, ia beranggapan kalau ada tikus yang memakan kue di dalam rumah, jangan sampai rumah itu yang dibakar.
Sidarto menuturkan, Soekarno masih memiliki peluang mengendalikan situasi pasca-Supersemar. Ia menyebut posisi kekuatan ABRI saat itu masih 60:40 pro-Soekarno. Masih banyak loyalis Soekarno di tubuh ABRI-Polri yang siap membela.
Para loyalis Soekarno itu di antaranya adalah Angkatan Udara di bawah KSAU Omar Dhani, Angkatan Laut di bawah KSAL Mulyadi, Polri di bawah Jenderal Pol Soetjipto Joedodiharhjo, dan Kodam Siliwangi di bawah Mayjen Ibrahim Ajie.
Kemudian, Korps KKA di bawah Letjen Hartono, Korps Brimob di bawah Anton Soedjarwo, dan sebagian besar pasukan Kodam Brawijaya yang setia membela Soekarno.
Namun, ketika para loyalis ini menyarankan untuk melawan, Soekarno menolaknya. Soekarno tidak ingin perlawanannya memicu perang sipil dan memecah belah bangsa.
"Para loyalis ini tidak tega melihat Bung Karno. Lebih baik mati bersama-sama. Sangat berisiko, tapi mereka die hard semua," ungkap Sidarto.