Pekan lalu, sebuah rangkaian acara diskusi, bedah buku, dan pentas seni bertajuk Belok Kiri Fest yang akan digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, terpaksa harus dibatalkan hanya sehari sebelum festival dibuka.
Kepolisian enggan mengeluarkan izin menyusul protes sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menganggap festival yang digelar kalangan aktivis, mahasiswa, dan intelektual kiri dari berbagi kota di Indonesia tersebut hendak menghidupkan kembali komunisme di negeri ini.
Pembatalan paksa semacam ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia pada era demokrasi terhadap kegiatan dan agenda-agenda terkait upaya pelurusan sejarah seputar peristiwa 1965.
Pertemuan korban ‘65 yang mayoritas lanjut usia, dibubarkan dan diusir paksa oleh kelompok yang mengatasnamakan warga Bukit Cangang, Bukit Tinggi, pada 22 Februari 2015.
Dua hari setelahnya, di Surakarta, beberapa ormas melarang seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bersama Korban ‘65 di Surakarta. Seminar dengan tema Layanan Kesehatan Korban Tragedi 1965/1966 untuk Mewujudkan Rekonsiliasi tersebut dinilai menghidupkan kembali komunisme.
Masih banyak lagi pemberangusan-pemberangusan serupa. Bahkan, beberapa kasus berujung penahanan oleh aparat.
Sejarah yang hancur
Terlalu banyak aspek-aspek rumit dan tak menyenangkan sejarah Indonesia yang dihapus sepanjang 32 tahun Orba berkuasa, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965.
Kitab-kitab resmi sejarah dihadirkan dengan narasi yang manipulatif. Sejarah dijejalkan dalam bentuk hitam-putih, baik-jahat, dengan menempatkan Soeharto dan militer sebagai Si Baik, sementara Soekarno, komunis, beserta simpatisanya sebagai si Buruk Rupa. Menggugat berarti hukuman berat.
Wawasan sejarah yang penuh masalah itu bertahan hingga jauh melampaui keruntuhan Rezim Soeharto. Orang Indonesia yang lahir dan dibesarkan dalam dua generasi terakhir, hidup tanpa mengalami pendidikan dasar dan berimbang mengenai sejarah nasional mereka sendiri (Ariel Heryanto, 2015).
Dampaknya kini terlihat, betapa piciknya cara pandang historis sebagian besar anak-anak bangsa di negeri ini, termasuk kaum elite, saat mendiskusikan kontroversi sejarah maupun persoalan mutakhir yang terhubung ke masa lalu.
Teknologi media sosial telah mendemokratisasi nyaris seluruh perdebatan publik mengenai kontroversi-kontroversi sejarah pasca-Orba. Buku-buku sejarah, karya sastra, dan film, yang mendedahkan temuan-temuan adanya penyesatan sejarah oleh Orba pun bermunculan.
Namun demikian, itu semua tak serta merta mengubah pola pikir sebagian besar warga negeri ini dalam melihat masa lalunya. Dari tahun ke tahun justru resistensi atas gerakan pembaruan sejarah itu makin menguat. Kian banyak kegiatan dalam upaya pelurusan sejarah yang dibubarkan paksa.
Celakanya, bukan hanya aparat yang melakukan, tetapi justru lebih sering ormas-ormas kanan. Tak sedikit pula kampus-kampus besar yang masih alergi dengan kegiatan diskusi, seminar, dan festival yang bernapaskan kiri.
Selain faktor amnesia sejarah, harus diakui bahwa demokratisasi yang berjalan beriringan bersamaan dengan keriuhan media sosial turut berperan mendeviasi pesan moral reformasi.
Pasalnya, pada masa ini, banyak kelompok berusaha mewujudkan agenda politik yang tertutup dan konservatif dengan memanfaatkan kebebasan dan keterbukaan. Sementara, negara dan elite kurang peduli dengan suara-suara yang berkembang, bahkan cenderung memanfaatkannya untuk kepentingan politik pemilihan.
Harus diakui, narasi sejarah Orba yang masih kuat menancap dan kian menguatnya puritanisme beragama adalah dua hal yang sangat populis dan strategis dalam politik pemilihan.
Maka tidak heran, elite dan negara cenderung membiarkan, bahkan mendukung gerakan ormas-ormas kanan memberangus upaya pelurusan sejarah oleh kelas menegah yang kritis, terutama kelompok kiri.
Politik selalu punya cara sendiri dalam memandang waktu dan memilih lupa. Dalam konteks ini, negara cenderung memilih lupa. Amnesia sejarah adalah ladang subur tumbuhnya benih-benih fasisme.
Itulah sebabnya, hari-hari ini kita kerap disuguhi sepak terjang kelompok-kelompok tertentu, yang begitu leluasanya menghardik, mengobrak-abrik, menghentikan paksa, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap kegiatan-kegiatan kelompok lain yang mereka anggap berbau komunis, kafir, dan label-label buruk lain yang dulu sangat lekat dengan gaya intimidasi Orba, sementara negara terkesan membiarkan.
Melempemnya kiri
Di pihak lain, upaya pelurusan sejarah bangsa berjalan begitu-begitu saja. Tak ada upaya yang lebih terstruktur, rapi dan meluas. Gerakan kiri yang kritis dan pluralis, kehilangan elan militansinya.
Sebaliknya, milintansi, gerakan massa, dan konsolidasi kekuatan justru lebih terlihat di kubu kanan yang cenderung konservatif.
Dalam hal ini dapat dikatakan, kian suburnya benih-benih fasisme di negeri ini juga tak lepas dari ketiadaan arah, konsolidasi, dan strategi yang jelas dari kalangan kiri itu sendiri.
Filsuf asal Slovenia, Slavo Zizek pernah mengatakan, revolusi tak bisa dipesan. Dia buah yang panas dari kemarahan otentik dan antagonisme yang mendalam.
Celakanya, lagi-lagi, prasyarat itu juga tak kunjung terpenuhi oleh kalangan kiri di negeri ini. Gerakan mereka cenderung elitis dan kurang mengakar kepada massa akar rumput.
Pemahaman dan kesadaran intelektual yang mereka miliki belum tertransformasi menjadi sebuah energi kemarahan otentik yang mampu menjadi katalisator bagi gerakan massal menuju kesadaran sejarah baru dan pemahaman kritis sebagai warga negara.
Di tikungan, mereka justru kerap tersalip oleh kelompok kanan yang lebih sigap dan terbiasa dengan politik massa dan merebut ruang publik. Sesuatu yang secara naluriah semestinya milik kaum kiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.