Sudah menjadi hukum sejarah bahwa setiap terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia, genosida, kejahatan perang, pergantian rezim kekuasaan otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis melalui revolusi atau reformasi selalu muncul permasalahan krisis kemanusiaan dan keadilan.
Koeksistensi kekuasaan otoriter dengan korupsi politik menuntut adanya tindakan apa saja yang dapat memproteksi kelangsungan kekuasaan politik yang korup dan konglomerasi ekonomi yang mendukungnya.
Segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan otoritarian berkelanjutan senantiasa berkorelasi dengan harga diri penguasa, loyalitas para pendukung, dan aset sosial ekonominya sehingga tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM) oleh penguasa otoriter dengan berbagai corak dan variasinya akan menjadi jalan yang tidak bisa dielakkan.
Konsekuensi logisnya, turbulensi kejahatan HAM yang terjadi menjadi masalah hukum dan kemanusiaan yang kompleks. Kejahatan berat HAM merupakan musuh seluruh umat manusia (hostis hominis generis)sehingga menjadi tanggung jawab bersama (erga omnes obligation) bagi rakyat, negara, dan masyarakat beradab internasional.
Kejahatan berat HAM merupakan krisis martabat kemanusiaan yang merobek nurani kemanusiaan bangsa manusia, bukan hanya bangsa Jerman, Jepang, Amerika Latin, Serbia, Afrika Selatan, Indonesia, Kamboja, dan lainnya.
Utang sejarah
Kejahatan berat HAM selalu menjadi mendung dan sisi gelap perjalanan bangsa. Memori kolektif masyarakat internasional dapat muncul dan mengasosiasikan kejahatan HAM oleh Hitler dengan Jerman, jugun ianfu dengan Jepang, genosida antara Tutsi versus Hutu di Rwanda, Serbia versus Herzegovina di bekas Yugoslavia, apartheid di Afrika Selatan, pembunuhan massal di Kamboja, dan lain sejenisnya.
Untuk itu, utang sejarah dalam krisis kemanusiaan harus diselesaikan melalui keadilan transisional (transitional justice). Dalam upaya realisasi keadilan transisional selalu ada dua lembaga kembar yang lahir, yaitu Pengadilan HAM Ad Hoc atau tribunal dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) atau Truth and Reconciliation Commission (TRC).
Harus dicatat bahwa hubungan dua lembaga kembar tersebut bersifat pelengkap (complement), bukan pengganti (substitute). Dengan demikian, proses hukum di Pengadilan HAM Ad Hoc tidak menegasikan proses rekonsiliasi dan sebaliknya. Sebenarnya negara kita Indonesia telah pernah memiliki UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR (Kompas, 18/5/2015), tetapi ironisnya undang-undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.