JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung menegaskan, seluruh jajaran Golkar harus bisa menyelesaikan masalah internal Golkar secara sungguh-sungguh seperti halnya mampu menyelesaikan persoalan di masa sulit tahun 1998.
Akbar mengaku sedih dengan kondisi Partai Golkar saat ini. Dia berharap persoalan Partai Golkar saat ini tidak dianggap sepele dan harus bisa diselesaikan dengan sungguh-sungguh.
Partai Golkar harus bisa menghadapi tantangan ini karena di awal reformasi Partai Golkar bisa melewati tantangan yang berat.
"Saya sebagai mantan ketua umum Golkar, yang telah menghadapi betapa beratnya cobaan diawal reformasi saat kantor-kantor kita dibakar, saya dan bahkan istri saya dikejar-kejar," kata Akbar di Jakarta, Minggu (13/7/2015).
Dia menyatakan, sangat sedih kalau masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan sungguh-sungguh. Kondisi saat ini jangan dianggap hal sepele.
"Tapi sayangnya saya mendapat kesan seperti itu. Pernyataan Jusuf Kalla (JK) yang yakin bisa menyelesaikan, apa iya seperti itu?" ujar Akbar.
Dia pun menyayangkan kesepakatan yang dilakukan kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono yang hanya diselesaikan tanpa melibatkan seluruh pihak di Golkar. Peristiwa yang sedemikian penting seharusnya dibicarakan bersama.
"Jangan ambil putusan sendiri karena ini bukan urusan pribadi, tapi urusan Golkar, urusan bersama dan demi kepentingan bangsa," katanya.
Padahal, kata Akbar, dari pengalamannya mengahadapi tekanan di awal reformasi, ada pengalaman yang bisa dibagi. Meski tekanan saat itu begitu berat, Partai Golkar berhasil ikut pilkada dan bahkan memenangkan pemilu berikutnya.
"Sudah banyak kontribusi Golkar bagi Indonesia, seharusnya ini urusan dan gawenya kita bersama. Saya saja nggak pernah diajak dan mintai keterangan, sekedar diberi informasi saja saya tidak," katanya.
Padahal, dewan pertimbangan yang dipimpinnya sesuai AD/ART bertugas memberikan masukan, baik diminta atau tidak terhadap putusan-putusan yang akan diambil oleh DPP.
Dewan pertimbangan selama ini, menurut dia, sangat aktif dan bahkan pada pertemuan terakhir, Aburizal sempat hadir dan menjelaskan bahwa masalah akan segera selesai. Namun, sama sekali tidak diceritakan langkah yang diambil.
"Ya, kita sempat bertemu, tapi tidak ada satupun pernyataan Aburzal terkait langkahnya ini," katanya.
Yakin tak selesai
Akbar berpendapat, dari awal dirinya yakin konflik ini tidak akan bisa selesai. Keyakinan Akbar itu terlihat ketika kubu Agung mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kubu Aburizal mendaftarkan gugatan ke PN Jakarta Barat.
"Setelah ada dua gugatan ini kami perkirakan nggak akan selesai sebelum pilkada serentak," katanya.
Saat itu, Akbar dan kawan-kawan di dewan pertimbangan pun memperkenalkan dilakukannya munaslub. Menurut dia, hal itu diperintahkan oleh AD/ART Partai Golkar. Munaslub dapat dilakukan jika Partai Golkar terancam.
AD/ART menggariskan jika partai terancam bisa dilakukan munaslub, dalam hal ini terancam tidak bisa ikut pilkada.
"Ini bisa dilakukan asalkan disetujui oleh 2/3 DPD I. Tapi saat itu Aburizal yakin hal ini bisa diselesaikan sebelum tanggal 20 April," katanya.
"Saat ini ada proses kasasi, saya tidak melihat dalam perspektif hukum atau pengadilan bisa selesai dalam waktu cepat," tambah Akbar.
Usulan itu diakui Akbar diajukan oleh dewan pertimbangan meski saat itu dirinya yakin bahwa Munas Bali sah.
"Keabsahannya sudah benar, tapi kenyataannya Agung bisa melaksanakan munas dengan melakukan Plt dan justru diakui oleh pemerintah dan bahkan keputusan mahkamah partai pun menurut pemerintah mendukung Agung," kata mantan Ketua DPR ini.
Dia pun mengingatkan bahwa masalah pilkada ini penting bagi Partai Golkar karena partai memiliki fungsi rekrutmen untuk mengisi jabatan-jabatan politik, baik di eksekutif maupun legislatif.
"Jadi kalau kita tidak ikut serta, berarti kita tidak melaksanakan kewajiban. Kalau Aburizal katakan tidak ada korelasinya antara pemilu legislatif dan pilkada karena meskipun Golkar menang pilkada di 59 persen daerah, hasil pemilu cuma 14 persen," katanya.
"Kalau cara berpikir saya terbalik, kalau dengan 59 persen kepala daerah saja kita hanya dapat 14 persen, bagaimana kalau di bawah itu?" tambah Akbar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.