J
JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar politik agama Suratno menilai penangkalan penyebaran kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) harus melibatkan dai dan daiah serta kelompok intelektual Islam. Selain ketegasan aparat polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menurut Suratno, juga diperlukan evaluasi terhadap Undang-Undang Anti Terorisme.
"Dai dan daiah NU dan Muhammadiyah yang langsung turun ke jemaah, harus menjelaskan ISIS kepada masyarakat dengan lebih intensif supaya masyarakat lebih tau pasti dan menolak keberadaan ISIS di Indonesia. Kemudian intelektual Islam juga, karena mereka berada di jalur ilmiah harus menyediakan argumentasi ilmiah mengapa ideologi dan aktivitas ISIS ini tertolak, baik di politik Timur Tengah maupun internasional," ujar Suratno kepada Kompas.com, Selasa (5/8/2014).
Hal ini penting, kata Suratno, untuk menjangkau semua level masyarakat dalam menangkal dan menolak radikalisme ISIS. Di sisi lain, lulusan politik antropologi dan agama Universitas Goethe Frankfurt ini menilai, ketegasan aparat polisi dan BNPT harus didukung dengan UU Anti Terorisme yang tidak sesubversif sebelumnya.
"Ketegasan aparat polisi dan BNPT sejauh ini sudah cukup bagus walau ada kendala terkait UU anti terorisme yang memang tidak sesubversif dulu yang bisa menangkap tanpa investigasi," katanya.
Suratno mengatakan, pola gerakan ISIS hampir sama dengan gerakan Al Qaeda. Bergerak dalam level internasional dan memiliki cabang di mana-mana, menjadi ciri dua gerakan radikal atas nama Islam ini. Bedanya, jelas Suratno, ISIS memiliki teritorial di beberapa kota di Irak dan Suriah, satu hal yang tidak dimiliki jaringan Al Qaeda.
Hal itu, lanjut dosen Universitas Paramadina ini, membuat ISIS jauh lebih mapan dan kaya dibandingkan dengan Al Qaeda. Kelompok ini menguasai beberapa bank dan jaringan listrik di beberapa kota serta memiliki donatur di dalam dan luar negeri.
Secara historis, lanjutnya, ISIS berasal dari Irak tahun 1994-1996 berada di bawah pimpinan almarhum Abu Muzab Al Zarqawi, yang ikut mendirikan ISIS. Seperti Al Qaeda dan Mullah Omar pimpinan Taliban, ISIS merekrut anggota dari sejumlah negara dengan mengajak kaum muslimin di seluruh dunia menyatakan baiat (bergabung).
"Namun, Mullah Omar menolak keberadaan ISIS ini. Jadi sebenarnya ada rivalitas antara Mullah Omar di Taliban dan ISIS ini. Ada potensi friksi internal antarorganisasi radikal ini," terangnya.
Masuknya kelompok ini ke Indonesia, dinilai Suratno sangat berbahaya karena meskipun kelompok ini tergolong baru, pergerakannya di Irak dan Suriah sudah sangat masif dan agresif karena kemapanannya.
"Mosul dan beberapa kota terdekat sudah dikuasai mereka. Belum lagi dukungan dari luar negeri. Jadi, bahayanya lebih besar karena sebagai gerakan mereka lebih mapan. Dari ideologi juga lebih berbahaya karena mereka lebih radikal. Mereka juga banyak menghancurkan situs Islam, bahkan mereka sesumbar mau hancurkan Kabah. Bayangkan kalau ideologi kelompok seperti itu masuk ke Indonesia," tandasnya.
Selain bertentangan dengan Pancasila, potensi teror yang akan ditimbulkan kelompok ini sangat tinggi menimbulkan kekacauan.
"Kita lihat sejak munculnya Al Qaeda saja kita sudah mengalami berkali-kali kegiatan teror. Kalau ISIS masuk dan lebih banyak lagi yang berbaiat, kita khawatir teror akan lebih banyak lagi," tambah dia.
Meskipun secara umum karakter masyarakat Indonesia asli moderat, dan sebenarnya ideologi dan aktivis ISIS tertolak, lanjut dia, ada beberapa celah yang bisa dimasuki ISIS. Misalnya sentimen dari geopolitik internasional ketika Gaza diserang Israel, bisa dimanfaatkan ISIS untuk mendapatkan dukungan.
Kemudian, imbuh dia, ISIS di Irak tidak hanya berbuat kejahatan dengan teror, tapi mereka juga melakukan aktivitas publik seperti membuat jaringan listrik, jembatan, dan gedung untuk kegiatan pemerintahan dan sosial.
Aspek seperti ini bisa digunakan ISIS untuk kampanye dan bisa menarik hati masyarakat Indonesia. "Menurut saya kuncinya, seruan Menag Lukman Hakim kemarin agar seluruh elemen masyarakat terlibat dalam penangkalan penyebaran ISIS sangat bagus. Masyarakat harus mengawasi orang-orang baru di sekitarnya dan melaporkan ke polisi jika ada yang mencurigakan," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.