Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/01/2014, 08:44 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - INI bukan duet calon presiden dan calon wakil presiden. Meskipun mungkin saja karena tidak ada aturan yang dilanggar, sekali lagi, ini bukan duet macam itu. Ini nama satu orang. Dari orang yang memiliki nama ini, saya yakin, keterpesonaan bisa mengubah.

Saat dilahirkan di Seoul, Korea Selatan, 31 Juli 1942, namanya adalah Cho Yong-joon. Namun, setahun setelah Susilo Bambang Yudhoyono terpilih dalam Pemilu Presiden 2004 dan dilantik menjadi Presiden RI ke-6, Cho mengganti namanya menjadi Djoko Yudhoyono. Berganti nama merupakan bagian dari totalitasnya karena terpesona. Nama Djoko Yudhoyono tertera di kartu identitas wartawan Istana Kepresidenan yang dimilikinya tahun 2005.

Di Istana, kami yang mendapati namanya berganti lantas bertanya. Djoko yang ramah dan ceria pun bercerita. Berganti nama merupakan langkah lanjutan setelah sebelumnya dia berganti kewarganegaraan. Sejak tahun 2000, ia menjadi warga negara Indonesia. Djoko yang terlihat lebih muda dari usianya bercerita kenapa memilih nama Djoko Yudhoyono. Djoko dipilih karena merupakan nama umum di Indonesia. Sementara nama Yudhoyono dipilih karena pengalaman pribadinya.

Djoko yang mengaku sebagai wartawan koran The Korea Times lebih kenal Susilo Bambang Yudhoyono jauh sebelum rata-rata dari kita mengenalnya. Sebelum mengenal Yudhoyono, Djoko lebih dahulu mengenal Sarwo Edhie Wibowo, ayah Kristiani Herrawati yang kemudian dinikahi Yudhoyono. Perkenalan Djoko dengan Sarwo tidak dijelaskan sejak kapan. Ditugaskannya Sarwo sebagai Duta Indonesia di Korsel oleh Presiden Soeharto sejak 1974 diduga jadi awal pertemanan. Saat pernikahan Yudhoyono-Kristiani (1976), Djoko turut berdoa bersama undangan lainnya.

”Saya mengamini doa Pak Sarwo agar satu dari tiga menantunya menjadi Presiden Indonesia,” ujar Djoko. Saat itu, Sarwo menikahkan tiga putrinya sekaligus. Resepsi pernikahan dilakukan di Hotel Indonesia.

Mudah lupa

Totalitas Djoko tidak hanya mengganti kewarganegaraan dan namanya. Setelah berganti nama, Djoko juga masuk Partai Demokrat yang didirikan, dibina, dan saat ini diketuai Yudhoyono. Saat-saat pemerintah sulit, Djoko yang juga pengusaha berusaha membantu. Ketika harga bahan bakar minyak (BBM) melambung awal tahun 2008 dan pemerintah ”membujuk” pengusaha menanam pohon jarak pagar (Jatropha curcas) untuk diambil minyaknya, Djoko membuka puluhan hektar lahan di Pandeglang, Banten.

Saat kebijakan ini tak jelas kelanjutannya karena harga BBM kemudian turun pada akhir 2008, Djoko tidak mengeluh meski terlihat lemas juga saat datang ke Istana. Lemas yang sama dirasakan pengusaha lain yang antusias membantu pemerintah, tetapi seperti dilupakan. Sampai saat ini, tidak terdengar kelanjutan kebijakan pemerintah mengembangkan energi alternatif ini. Yang justru terdengar kisah meruginya sejumlah pengusaha karena pemerintah tampaknya lupa dengan kebijakannya.

Soal mudah lupanya pemerintah ini tampaknya merupakan cermin dari rakyatnya juga. Seperti pemerintahnya, rakyat juga mudah lupa.

Saat ini kita riuh dengan beberapa pejabat daerah yang mendapat pujian dan liputan luar biasa dari media asing. Padahal, menjelang Pemilu 2009, Yudhoyono disebut majalah Time sebagai salah satu dari 100 tokoh dunia paling berpengaruh. Tidak tanggung-tanggung, Time menempatkan Yudhoyono di urutan kesembilan, angka kegemarannya.

Kini, kita lupa juga. (Wisnu Nugroho)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com