KOMPAS.com
- KETIKA di Bandara Internasional Changi di Singapura, dulu, rasa bangga selalu menyeruak saat melihat kedai Bengawan Solo. Nama sebuah sungai di Indonesia ternyata jadi nama kedai di salah satu bandara terbaik di dunia.

Ternyata, Bengawan Solo itu kedai berbadan hukum Singapura. Didirikan tahun 1979—walau salah satu pendirinya, Tjendri Anastasia, adalah orang Indonesia—sebagai kedai kopi merek lokal Singapura. Kebanggaan diri ini merosot tinggal setengah kalau tidak seperempat.

Di salah satu serambi Gedung DPR ternyata juga ada Bengawan Solo Coffee. Kedai ini ternyata waralaba lokal.

Februari 2012, Badan Kehormatan DPR pernah merekomendasikan penutupan atau penataan ulang lokasi Bengawan Solo Coffee di DPR. Alasannya, tempat itu menjadi lokasi ”lobi”. Seolah dengan penutupannya, tiada lagi ”lobi-lobi” di DPR.

Kalau boleh jujur, meski waralaba lokal, Bengawan Solo Coffee di DPR sebenarnya kurang bercita rasa Indonesia. Kedai itu justru banyak menyajikan menu asing, di antaranya vietnamese milk coffee, hazelnut latte, brandy mocha, dan cappuccino. Cappuccino jelas bukan warisan leluhur kita. Sejarah cappuccino bahkan dimulai sejak perjumpaan pasukan Nasrani dengan kopi yang ditinggal pasukan Ottoman dari Turki saat Perang Salib.

Cita rasa Indonesia hanya terpatri di salah satu menu, yakni java avocado. Meski tidak terlalu jelas, apakah alpukat yang dicampur dengan kopi dipanen dari kebun-kebun di Jawa Barat atau Jawa Timur? Apakah kata Java dalam menu itu berarti lain?

Di Gedung DPD juga ada kedai kopi, namanya Miko Coffee. Di kedai yang sering disambangi untuk diskusi terkait DPD itu, di sebuah pilar marmer ada tulisan: ”Miko Coffee. Belgium. Anno (tahun) 1801”.

Kata Miko akronim dari Michielsen dan Koffie. Leo Michielsen pada 1801 memang menjual komoditas, mulai dari beras, merica, garam, hingga kopi. Kini bisnis Miko Coffee telah tercatat di Bursa Saham Brussels. Salah satu kedainya eksis di gedung wakil rakyat Indonesia.

Untungnya, ada satu sudut di Kompleks Parlemen, Senayan, yang menampilkan cita rasa Indonesia. Lokasinya di salah satu sudut di belakang, dikenal sebagai Pujasera (Pusat Jajanan Serba Ada). Di tempat itu, ada 17 counter yang menjajakan makanan, seperti masakan padang, mi aceh, empal gentong dari Cirebon, pepes sunda, nasi gudeg, dan soto betawi.

Namun, harga makanan di Pujasera sering kali lebih cocok untuk wakil rakyat dan anggota stafnya, bukan untuk rakyat kebanyakan dengan penghasilan rata-rata 2 dollar sehari (sekitar Rp 24.000). Sebab, saat santap Kamis kemarin dengan sop ikan, perkedel jagung, sayur, dan teh dalam kemasan botol, uang yang dibayarkan lebih dari Rp 30.000. (HARYO DAMARDONO)