Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilar Demokrasi yang Tak Demokratis?

Kompas.com - 14/06/2013, 02:51 WIB

Hampir semua jabatan publik di Indonesia diisi melalui partai politik. DPR, DPRD, presiden dan wakil presiden, kepala daerah dan wakil kepala daerah, jelas diusulkan oleh partai politik atau gabungannya. Pemilihan anggota lembaga atau komisi negara tak lepas dari persetujuan parpol.

Karena itu, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti berulang kali menegaskan, parpol adalah pintu masuk jabatan politik. Hal itu konsekuensi tak langsung dari ketentuan yang disebut dalam konstitusi bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik.

Jika hampir semua jabatan publik, mulai dari legislatif, eksekutif, hingga yudikatif, ditentukan parpol, bisa dikatakan kualitas penyelenggaraan negara sangat bergantung pada parpol. Masalahnya adalah parpol belum menjalankan fungsi sebagai pintu masuk jabatan politik. Walaupun sebagai pilar demokrasi, parpol terkesan sangat jauh dari pengelolaan yang demokratis.

Di Indonesia, semua parpol cenderung dikuasai elite-elite saja. Hal itu diungkapkan Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto dalam buku Mendorong Demokratisasi Internal Parpol yang diterbitkan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pembangunan 2013 yang mengutip Robert Michels. Organisasi besar dan rumit seperti parpol, menurut Michels, cenderung dikelola secara oligarki dan lebih melayani kepentingan sendiri ketimbang kepentingan organisasi. Pengelolaan yang didominasi sekelompok kecil elite awalnya dibuat untuk mengefektifkan pengambilan keputusan. Namun, praktiknya pemimpinlah yang mengontrol para anggota.

Kedekatan

Sangat jelas bahwa tanpa kedekatan dengan elite seorang kader parpol tak akan mencapai posisi atau atribusi apa pun. Relasi seperti itu menjadi lumrah dalam panggung politik sekarang ini. Contohnya seorang asisten yang sehari-hari bertugas membawakan tas elite parpol tertentu, kini sudah duduk sebagai wakil rakyat di DPR bersama patronnya. Kisah serupa banyak terjadi.

Tak hanya oligarki, parpol di Indonesia malah semakin terpersonalisasi kepada seorang tokoh saja. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tak lepas dari Megawati Soekarnoputri. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) selalu melekat dengan sosok Prabowo Subianto. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) tentunya identik dengan Surya Paloh.

Bahkan, di Partai Demokrat, personalisasi Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penguasa tunggal partai semakin kuat dengan rangkap empat jabatan tertinggi yang pernah dipegang, yaitu Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina, dan Ketua Dewan Kehormatan. Sejak 21 April 2013, SBY ”cukup” menjadi Ketua Umum DPP dan Ketua Majelis Tinggi. Namun, praktis semua kekuasaan di Partai Demokrat dipastikan ada di tangannya.

Kondisi tersebut seakan terkonfirmasi dalam penyusunan daftar calon anggota legislatif. Ketua DPP Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan menyebut SBY begitu memberi perhatian sehingga terus memonitor betul proses pencalegan. Meski ada tim khusus, peran SBY sangat sentral dalam proses seleksi dan penyusunan caleg Partai Demokrat.

Penyusunan daftar caleg pun semakin menunjukkan betapa tak demokratisnya parpol. Kaderisasi yang berantakan membuat banyak parpol membuka perekrutan terbuka untuk mencari sekitar 20.400 calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Berbagai kriteria pun ditentukan, termasuk dengan wawancara, sebagian malah menyurvei popularitas dan elektabilitas calon.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com