Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memaknai Pancasila dalam Kehidupan

Kompas.com - 11/06/2013, 02:23 WIB

Deretan masalah yang mengusik ketenteraman bangsa selalu bertambah setiap hari, padahal kita mempunyai Pancasila yang bisa menjadi jawaban tepat untuk semua masalah. Sayangnya, jawaban itu tidak dimaknai dengan tepat oleh masyarakat. Lalu, apa makna Pancasila yang diuraikan Soekarno di depan Kongres Amerika Serikat pada tahun 1956?

angsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni. Tahun 2013, menandai peringatan Hari Lahir Pancasila, Wakil Presiden Boediono meresmikan Situs Bung Karno di Ende, Flores. Berbagai acara seremonial mungkin akan digelar setiap tahun. Butir-butir Pancasila juga dibacakan setiap kali upacara bendera di sekolah.

Berbagai teori tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 juga bisa didapatkan dalam Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), buku-buku, dan pidato para pejabat.

Sayangnya, teori-teori itu relatif tak memiliki satu pun kandungan yang dapat diterapkan. Sebagian masyarakat juga tak mendapatkan penjelasan memadai mengenai substansi Pancasila. Mereka hanya mengerti, Pancasila itu hasil konsensus bersama, dasar negara, dan asli Indonesia. Dua sila dalam Pancasila berbicara tentang keadilan dan kemanusiaan. Akan tetapi, sepertinya masyarakat kurang memahami keadilan dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Kenyataannya, masalah tak adanya toleransi, kerusuhan antarwarga, protes kebijakan pemerintah, atau korupsi masih mewarnai.

Kerelaan diri

Sekar Kanthi Nayenggita, mahasiswa Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Parahyangan, Bandung, mengatakan, untuk memahami sila kedua dan sila kelima dibutuhkan kerelaan dan keikhlasan dari diri kita sendiri.

”Agak sulit memahami jika kita belum pernah merasakan diperlakukan tak adil. Ketika mendapat perlakuan tak adil, mahasiswa protes dan membalas agar orang lain pun merasakan ketidakadilan. Mahasiswa demo menuntut keadilan, tetapi tak menyelesaikan masalah, akhirnya merugikan lingkungan sekitar,” kata Sekar.

Rasa keadilan bergantung pada siapa yang memandangnya. Kata Sekar, di kampusnya banyak peluang yang bisa diraih semua orang. Sayang, tak semua mahasiswa mendapat kesempatan. Kepanitiaan dalam acara kampus misalnya, orangnya itu-itu saja.

”Hanya mahasiswa yang menonjol yang suaranya didengar. Awalnya saya diam saja, tetapi pelan-pelan saya mengumpulkan beberapa teman yang mempunyai pemikiran sama untuk menyelesaikan masalah ini, misalnya dengan mengajak teman-teman yang belum mendapat kesempatan untuk bisa maju. Sayangnya, usaha saya malah dianggap aneh,” ucapnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com