Jakarta, Kompas
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, Rabu (5/6), di Jakarta, mengatakan, dari laporan dana kampanye peserta pilkada sebelumnya bisa dihitung biaya kampanye rata-rata per pemilih. Setelah disesuaikan
Saat ini, pemerintah juga tengah membuat simulasi penghitungan batas dana kampanye. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, simulasi itu menindaklanjuti rapat kerja Panitia Kerja RUU Pilkada dan pemerintah pada Selasa lalu yang menyepakati pembatasan dana kampanye.
Simulasi pembatasan dana kampanye, kata Titi, juga bisa dilakukan mulai dari angka Rp 1.000 per pemilih, Rp 2.000 per pemilih, Rp 3.000 per pemilih, dan seterusnya. Selain itu, pagu maksimal dana kampanye bisa mengambil jumlah tertinggi laporan pengeluaran pasangan calon kepala daerah yang pernah dilaporkan resmi ke Komisi Pemilihan Umum.
Pemerintah dan DPR juga dapat langsung menetapkan angka pagu batasan berdasarkan tren laporan dana kampanye pasangan calon selama ini. Semua metode memperhitungkan pertambahan pemilih dan inflasi.
Partai politik pasti memiliki data dan hitungan biaya pemenangan dalam pilkada. Dari berbagai kebutuhan pemenangan pilkada, bisa dihitung biaya legal yang diperlukan untuk memenangkan pasangan calon. ”Aneh kalau partai tidak tahu teknis pembatasan dana kampanye. Mereka tahu berapa biaya yang dikeluarkan, baik legal maupun ilegal, dan berapa biaya sepantasnya menjadi pagu batasan belanja kampanye pasangan calon,” ucap Titi.
Di sisi lain, Badan Pengawas Pemilu provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu di kabupaten/kota bisa fokus mengawasi keuangan dana kampanye. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pun bisa menjadi instrumen yang menelusuri akuntabilitas transaksi calon.
Pembatasan dana kampanye, kata Nico Harjanto dari Rajawali Foundation, untuk mewujudkan demokrasi yang aksesibel, murah, menekan korupsi.