AMBON, KOMPAS -
Kepala Pusat Penerangan
Tim eksekutor Kejaksaan Agung pernah berupaya mengeksekusi Tengko pada 12 Desember 2012. Namun, tim dihalang-halangi 50 pendukung Tengko.
Tengko, terpidana korupsi APBD Aru tahun 2006-2007, divonis bersalah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 161 K/PID.SUS/2012 dan dihukum 4 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti Rp 5,3 miliar.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Anton Hutabarat kembali berjanji akan mengeksekusi Tengko. Dia menyatakan harapannya agar Tengko menyerahkan diri seperti mantan Kepala Bareskrim Polri Susno Duadji.
Kasus Tengko mirip Susno. Keduanya menolak dieksekusi kejaksaan karena menilai putusan Mahkamah Agung atas kasus mereka tidak memenuhi Pasal 197 KUHAP (tidak ada perintah terdakwa ditahan) sehingga putusan batal demi hukum.
Selain Tengko, ada tiga terpidana korupsi lain yang belum dieksekusi kejaksaan. Mereka adalah mantan Kepala Bagian Keuangan Pemerintah Kabupaten Aru Muhammad Raharusun, mantan Wakil Bupati Maluku Tenggara Barat Lukas Uwuratuw, dan mantan Kepala Dinas Sosial Maluku Fenno Tahalele.
Putusan bersalah atas mereka telah berkekuatan hukum tetap dan dijatuhkan dalam rentang waktu tahun 2011 sampai awal 2013. Raharusun divonis dalam kasus yang sama dengan Tengko, Uwuratuw dalam kasus pengadaan kapal ikan tahun 2002, dan Fenno terkait dana bagi korban konflik Maluku tahun 2006.
Atas lambannya eksekusi terhadap para terpidana korupsi, Komisi A DPRD Maluku berencana memanggil Kejaksaan Tinggi Maluku. Pemanggilan dilakukan setelah agenda reses DPRD Maluku usai pada tanggal 20 Mei.
Menurut Samson Attapary, pengamat sekaligus praktisi hukum di Ambon, tidak hanya DPRD Maluku yang harus mengevaluasi kinerja Kejaksaan Tinggi Maluku, tetapi juga Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan. ”Banyak kejanggalan dalam pengusutan dan penindakan korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi Maluku,” ungkapnya.
Kejanggalan ini menimbulkan kecurigaan permainan pihak kejaksaan dengan mereka yang tersangkut korupsi.